Suara seperti geluduk yang berulang-ulang datang dari balik rerimbunan setinggi 20-30 meter di Sungai Tapah, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Puncaknya, sebuah helikopter Superpuma putih-merah-biru muncul menebas udara dengan menggotong muatan. Dalam manuver setengah lingkaran, akhirnya muatan berisi 4.000 liter air itu tumpah di antara kerumunan orang-orang berseragam merah yang sempat menepi sambil membawa perkakasnya. “Ini Mil8 Superpuma yang khusus untuk water bombing,” ujar Eldi Ramadanis, Head of Fire Operation Management PT Wirakarya Sakti (WKS), mitra APP Sinar Mas, Kamis (3/5/2018) di Sungai Tapah.
Siang itu, Eldi bersama Frederic selaku ketua dari regu 23 orang menunjukkan langkah yang dilakukan manakala hutan di wilayah operasional mereka kebakaran, khususnya pada musim kemarau yang puncaknya diprediksi terjadi pada Agustus-September, beririsan dengan masa Asian Games. “(Misi dalam simulasi kali ini) menyelamatkan hutan tanaman dan aset perumahan. Strategi kami, kami dari sisi kanan jika kemungkinan angin berbalik, kami membuat sekat bakar. Sekat bakar ini membersihkan lahan jarak 1 meter, rata, jangan ada vegetasi, untuk menghindari api menjalar,” kata Frederic.
Api menjadi momok yang terus dipantau tim manajemen api. Sesuai dengan strategi yang berinduk pada tim manajemen api APP Sinar Mas, usaha mengatasi kebakaran lahan berangkat dari empat pilar, yakni pencegahan, persiapan, deteksi awal, dan respons cepat. “Target kami zero fire. Suatu wilayah akan disebut kebakaran jika luasnya lebih dari 0,2 hektar. Setiap kasus, dalam waktu 2 jam sudah harus pendeteksian awal (apakah titik panas berarti titik api). Lalu jika ada api, harus sudah mati maksimal 8 jam,” tambah Eldi.
Untuk Jambi, mereka pada tahun lalu ketambahan 46 personel. Oleh karennya, total jumlah personel regu pemadam kebakaran mereka di Jambi—yang bersertifikasi Manggala Agni—kini menjadi 330 orang.
Gambut
Eldi menjelaskan, sebanyak 49 titik api ditemukan pada tahun 2017 dari total ratusan laporan titik panas yang terdeteksi dalam radius 5 km. Temuan titik api ini termasuk di lahan luar konsesi Sinar Mas. Pada prosesnya, titik panas mula-mula dipantau via satelit melalui ruang kontrol yang berpusat di Jakarta, lalu disebarkan ke wilayah operasional APP Sinar Mas, termasuk di Jambi.
“Dari 10 distrik, yang merah adalah daerah yang cukup rawan. Total ada 15 (penyebab). Dari membakar lahan, sampai mengusir tawon,” demikian paparan Eldi, sebelum simulasi di lapangan dengan helikopter Superpuma tadi, yang disewa dari perusahaan Hevilift di Balikpapan. Mudahnya dan murahnya cara membuka lahan dengan membakar hutan menjadi salah satu faktor penyebab kebakaran, di luar faktor alam seperti kemarau. Artinya, faktor ekonomi rentan menggiring masyarakat umum untuk melakukan pembakaran tersebut.
Oleh karenanya, pihak manajemen penanggulangan api ini juga menerapkan program untuk mengedukasi masyarakat bertanam dan merasakan hasilnya, dibandingkan mencari nafkah dengan membakar hutan untuk membuka lahan. “Budaya bertaninya kurang. Di sini kami bekerja sama dengan pihak-pihak, baik pusat maupun daerah, akademisi, instansi terkait,” kata Head of Social and Security PT WKS Slamet Irianto.
Wilayah-wilayah hutan di Sumatera, termasuk di Jambi sendiri, terkenal dengan wilayah gambut. Sisa-sisa tumbuhan yang lama terpendam menjadi “bahan bakar” nan subur bagi kebakaran hutan sehingga akan sulit dipadamkan. Karena itu pula, mereka turut mematuhi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
“Dalam penaatan kebijakan untuk gambut, kami melakukan perubahan RKU (rencana kerja usaha). Perubahan itu berupa tidak mengelola area yang masuk ke dalam kavling konservasi lindung ekosistem gambut,” ujar Taufik Qurahman, PR Media PT WKS. Mereka masih mendapat kewenangan untuk menjaga area tersebut dari bahaya kebakaran, perambahan, dan lain-lain. Luas wilayahnya sendiri seperti dijelaskan 40 persen di areal gambut.
“Yang masuk dalam kavling 40.000-an hektar. Diberi (kesempatan bertanam) satu daur, kemudian tidak boleh ditanam kembali untuk kemudian membiarkan sistem gambut seperti semula,” ujarnya.
Sesuai PP tersebut, mereka memasang logger untuk mempertahankan tinggi air 40 cm di areal gambut. Di sisi lain, waktu penanaman sudah berjalan dan sebagian sudah dipanen sambil menunggu arahan regulasi dari kementerian.”Jika area itu kami biarkan, maka kemungkinan kebakaran atau perambahan dari pihak luar makin besar. Oknum tertentu masuk, melakukan pembukaan, dan menjadi ancaman bagi kita semua,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut dia, mempertahankan level ketinggian air 40 cm di lahan gambut membuat potensi tumbangnya tanaman industri menjadi lebih besar karena tanah menjadi terlalu lunak.
Sumber: Kompas.com