Enam tahun sudah Togos Naho, 30 tahun, menjadi peternak lebah kelulut. Warga Dusun Bahta, Desa Bahta, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu telah memasarkan sekitar 4 ton madu yang diberi merek Madu Bahta.
Togos mulai beternak lebah kelulut (Trigona Itama) sejak 2010 karena wilayah tempat tinggalnya dikenal sebagai penghasil madu. Namun, produksi madu di Dusun Bahta lambat laun berkurang karena minimnya pengetahuan para peternak yang hanya mengandalkan praktik secara turun-temurun.
Saat ini Togos berusaha memperkenalkan cara memelihara lebah kelulut yang berkelanjutan kepada warga setempat. Misalnya saja kotak lebah memiliki ukuran tertentu, panennya menggunakan sarung tangan dan alat sedot. Selain itu, panen tidak dilakukan malam hari, dan tidak menggunakan asap. “Jangan diambil madu dan telur lebah karena regenerasinya akan susah,“ ujar Togos.
Lebah trigona berukur kecil seperti lalat, bersarang di dalam pohon, dan tidak menyengat. Saat ini Togos melakukan budidaya madu kelulut di dua lokasi, tak jauh dari tempat tinggalnya, dengan total 80 unit koloni lebah trigona. Koloni lebah kelulut diambil dari pohon tapang yang ketinggiannya bisa mencapai 80 meter.
Panen madu kelulut bisa dua kali dalam setahun, yakni bulan September-November dan Januari-Maret. Namun, pakan lebah berupa nektar (cairan manis di dalam bunga tanaman) dan polen banyak tersedia di awal-awal tahun. “Tahun ini puncak panen bulan April sebanyak 600 kilogram madu. Omzet saat ini masih turun naik karena di luar musim panen, modal terpakai untuk kebutuhan sehari-hari,” ucap Togos.
Khasiat madu kelulut yang rasanya asam manis pun bermacam-macam, mulai dari obat batuk dan flu, bisa dikonsumsi penderita diabetes atau menambah gairah nafsu makan. “Madu kelulut kurang pas dikombinasikan dengan makanan. Biasanya madu ini langsung diminum atau dicampur air putih,” kata Togos.
Togos telah memasarkan produknya karena sudah mengantongi izin usaha dari Dinas Penamanan Modal Kabupaten Sanggau dan masih mengurus Sertifikat Produksi Pangan–Industri Rumah Tangga (SPP-PTT). Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, Dinas Kesehatan setempat mensyaratkan adanya tempat khusus pengolahan madu. Selama ini, Togos memproduksi madu yang telah dipanen di rumahnya sendiri.
Uniknya madu kelulut tidak memiliki banyak peminat di Kalimatan Barat, namun lebih populer di Pulau Jawa. Salah satu reseller Madu Bahta di Yogyakarta memesan 100 liter madu per bulan. Setiap madu yang dikemas dalam jeriken berisi 50 liter, dijual seharga Rp 8,5 juta. Madu Bahta juga dijual secara eceran dalam botol berukuran 150 mililiter seharga Rp 150 ribu. Bukan hanya konsumen Indonesia yang telah menikmati Madu Bahta, orang-orang asing juga sudah mencicipinya, baik yang berkunjung ke Dusun Bahta maupun saat dipamerkan di berbagai ajang.
Pemasaran Madu Bahta juga dilakukan melalui situs jual beli online dan situs www.madubahta.com. “Karena Dusun Bahta berada di pelosok dan saya susah mendapatkan sinyal seluler, pesanan melalui situs jual beli online belum menjadi prioritas,” ujar Togos.
Budidaya madu kelulut yang dilakukan Togos Naho merupakan binaan PT Finnantara Intiga, unit usaha Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Program DMPA mendukung masyarakat setempat untuk mengelola lahan dengan metode agroforestri, yakni bercocok tanam tumpang sari hortikultura (sayur dan buah), tanaman pangan, peternakan, dan perikanan.
Sumber: Tempo