Di sisi hiruk pikuk kesibukan kawasan industri Kota Deltamas, Bekasi, berlangsung kesibukan lain di beberapa gedung yang tampil berbeda dengan bangunan yang ada di sana. Di lingkungan green campus itu, civitas academica Institut Teknologi dan Sains Bandung tengah mengasah keilmuan sekaligus kepekaan mereka untuk menjadi eco-technopreneur andal. ITSB memang berupaya melahirkan para penemu muda yang tak hanya cakap berkarya di sektor industri, tapi juga berwawasan lingkungan. Memulai perkuliahan perdana di tahun 2011, bakat yang dicari dan diasah mulai bermunculan. Hal yang menggembirakan, para penemu muda ITSB ini melakukan eksplorasi setelah terinspirasi aktivitas keseharian mereka. Serupa dengan yang dilakukan para penemu, industrialis, atau pebisnis sohor di berbagai belahan dunia.
Energy Bike di kantor pusat Sinar Mas. Giasa setelah menerima penghargaan ‘Inovatif’, diapit (dari kiri) Rektor ITSB, Ari Darmawan Pasek, Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food, Franky O. Widjaja, Managing Director Sinar Mas, G. Sulistiyanto, President Director Bank Sinarmas, Freenyan Liwang dan Chairman Sinar Mas Land, Muktar Widjaja.
Penemu, bukan Pesohor
Tahun 2015, yang menjadi bintang adalah Giasa Lutfiah. Gadis lulusan Program Studi Desain Produk Industri yang gemar bersepeda ini melihat cukup jauhnya jarak dari gerbang Kota Deltamas ke kampusnya, padahal di situ tidak ada angkutan masal atau publik yang beroperasi sebagai sebuah pemantik. “Berdasarkan hasil survei dan penyebaran kuesioner, para mahasiswa rata-rata membutuhkan waktu hingga sekitar dua jam dari tempat tinggalnya ke kampus, dengan jarak tempuh sekitar 40 km. Jarak yang terlalu jauh bila harus ditempuh dengan sepeda konvensional, sementara tidak semua mahasiswa menggunakan mobil atau sepeda motor,” ujarnya. Idenya semakin ‘liar’ setelah mengaitkan dengan upaya memasyarakatkan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Dari situ Energy Bike bermula.
Tapi Giasa belum puas. “Aspek desain produk industri jangan sampai dilupakan. Sepeda bertenaga surya ini dirancang tidak saja dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, tapi juga dari sisi kenyamanan pengendaranya. Pemilihan bahan, rancang bangun berikut kelayakan produksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan itu.” Menurutnya, aspek-aspek itu sangat penting guna mendapatkan sebuah produk yang fungsional, bagus penampilannya, sekaligus bernilai ekonomi. Butuh setahun penuh – berisikan riset, mematangkan konsep desain, perancangan, produksi, diikuti uji coba prototipe – dengan dukungan sejumlah teman dan arahan para dosen hingga Energy Bike terwujud dan mengaspal jalan.
Begitu sosok dan karyanya mulai tersiar, Giasa yang penerima beasiswa Eka Tjipta Foundation ini sontak menjadi pesohor yang dikejar jurnalis, mulai dari media cetak, online sampai ke radio. Ketenarannya menerobos hingga ke lingkup keluarga besar Sinar Mas. Saat perayaan Natal 2015 dan tahun baru 2016 di Plaza Sinar Mas Land, Jakarta (12/01/2016), ditemani Energy Bike buatannya, Giasa mendapatkan penghargaan ‘Inovatif’ dari Chairman Sinar Mas Financial Services, Indra Widjaja. Tapi pesohor bukan cita-citanya, “Sekarang desain masih harus berkompromi dengan bentuk panel surya yang digunakan. Ke depan saya berencana agar panel yang dipakai justru menyesuaikan dengan desain sepeda, sehingga Energy Bike dapat diproduksi secara masal,” ujarnya.
Penemu dari Kebon Manggis, Berlan
Mendengar Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur, banyak orang serta merta mengidentikkannya dengan sebuah kawasan yang sejak lama menjadi pusat peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang. Begitulah adanya. Tapi harapan dan hal baik bisa datang dari mana saja, termasuk dari sana. Tubagus Rohmatullah salah satunya.
Bakatnya sudah tampak sejak masa sekolah menengah dengan ketertarikannya mengikuti berbagai lomba desain produk. Pengalaman perdana membawa karyanya ke ajang regional terjadi saat gelaran International Youth Invention Exhibition and Poster Contest 2015 di Changhua, Taiwan. Melalui E-Marker Whiteboard+ atau penghapus white board yang terintegrasi dengan spidolnya, TB, begitu ia biasa dipanggil mendapatkan medali perak. Selewat, temuannya tampak sederhana, tapi jelas tak bisa dianggap enteng karena setelah sekian lama, baru dirinya yang melihat kebutuhan itu, memikirkan solusi, dan membuat alatnya. “Karena sering melihat para guru yang menulis di white board kerap menghapus tulisan yang salah memakai tangan mereka lantaran tak sempat atau malas menggunakan penghapus yang terpisah,” kata TB tentang temuannya.
“Sudah pernah menggunakan water dispenser seukuran ini?” Begitu mungkin TB menjelaskan temuannya di Bangkok.
Aksinya di Taiwan menjadi pijakan untuk berangkat sebagai ketua tim Indonesian Invention and Innovation Promotion Association ke ajang International Intellectual Property, Invention, Innovation & Technology Exposition 2016 di Bangkok. Temuan barunya adalah Hot and Cold Bottle yang bekerja layaknya water dispenser, cuma yang ini berukuran kecil, portable, dan mengunakan baterai yang bisa diisi ulang, “Saya suka jalan-jalan. Saat bertemu cuaca panas, saya butuh air dingin. Sementara di satu sisi, kadang bertemu dengan cuaca dingin, dimana saya ingin menyeduh sesuatu yang hangat.” Begitu ide datang, langsung dituliskan dan digambar. Berkeliling mencari pembanding juga dilakukannya, “Saya melihat termos elektrik yang ada, umumnya harus selalu terhubung dengan listrik dan sukar dibawa kemana-mana. Selain itu, fungsinya hanya satu, memanaskan atau mendinginkan. Saya mencoba membuat kedua fungsi tadi berada dalam satu wadah.”
Banyak penemu sangat dekat bahkan bergantung dengan teknologi tinggi. TB pun demikian, tapi cara lama tidak ia tinggalkan. Dalam setiap kesempatan, dirinya selalu ditemani sebuah buku catatan. Bahkan ide Hot and Cold Bottle sudah membayanginya sejak masa SMA. “Untungnya saya punya satu buku, di mana seluruh ide yang saya dapat, dimasukkan ke situ,” ujarnya menceritakan buku penuh tulisan dan coretan sketsa yang disebutnya Book of Future. Sepanjang tiga bulan ia melakukan riset dan konsultasi dengan para dosen, mempertajam konsep desain yang efisien dan efektif. Coba, gagal dan ulangi, seperti itu. Dari mulai pengembangan hingga saat ini, tak kurang dari 11 prototipe telah dibuatnya, “Banyak juga gagalnya.” Penyempurnan berlangsung tanpa henti, karena meski dari sisi fungsi sudah terpenuhi, dari sisi desain menurutnya belum optimal.
Di Thailand, tanggapan para juri yang berlatar belakangan akademisi membuatnya terinspirasi. “Para profesor mengatakan jika hasil inovasi tidak mesti berupa produk jadi. Yang lebih penting adalah apakah konsep dan ide yang ada bisa direalisasikan,” kenangnya. Ketertarikan anggota dewan juri dan komunitas penemu yang berkumpul di sana tampak dari permintaan mereka untuk bertukar kontak. Oleh-oleh yang dibawa pulang adalah medali perunggu dari National Research Council of Thailand, gelar Best International Invention Award dari Manila Young Inventors Association, Fillipina, dan Best International Achievement (Special Award) dari Eurobusiness-Haller/Haller Pro Invention Foundation dari Polandia.
Sosoknya yang gemar melakukan penelusuran terlihat pula saat ia menemukan informasi mengenai ITSB dari web. TB mengaku langsung jatuh hati dan menetapkan pilihannya: berkuliah di ITSB yang memiliki jurusan sesuai dengan minatnya. “Saya harus meyakinkan orang tua yang awalnya kurang mendukung karena letak kampus yang jauh dari rumah,” kisahnya. Begitu juga saat membidik dan akhirnya mendapatkan beasiswa, semua cerita tentang ETF diperolehnya dari aktivitasnya berselancar di internet. Dasar penemu, siswa angkatan 2014 ini masih mengincar beberapa kompetisi desain produk di sejumlah negara, “Kebetulan saya sudah memiliki beberapa ide yang siap untuk dikerjakan. Tapi secara bersamaan, saya akan tetap menyempurnakan Hot and Cold Bottle ini.” Siapa bilang di Kebon Manggis cuma ada narkoba?
Reporter: Jaka Anindita
Foto: Noveradika
Desainer grafis: Fanny Fransiska