Apakah keseharian kita diwarnai dengan menerima, memeriksa dan merespon pesan teks yang masuk dari atasan, yang terjadi justru selepas jam bekerja di kantor usai? Berlangsung ketika kita tengah menikmati rehat, menjalani hobi atau membangun aktivitas sosial berkualitas. Apakah itu gejala tengah berlangsungnya apa yang disebut sebagai fenomena urgensi semu atau false urgency dalam kehidupan kita? Adakah mitigasi yang efektif agar hal ini tidak sampai mengorbankan kualitas pekerjaan, penilaian atasan, serta keberlangsungan karir kita?
Konsultan bisnis serta kepemimpinan, Dina Denham Smith dalam tulisannya di Harvard Business Review tahun 2023 berpandangan bila setiap orang yang berada di sebuah lingkungan kerja, sesungguhnya mampu mengenali hadirnya urgensi semuu. Caranya dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah saya dan anggota tim yang lain senantiasa reaktif dan kewalahan? Apakah kami kerap kali baru bisa mengerjakan tugas utama di malam hari atau akhir pekan? Apakah ada umpan balik yang meminta kami memprioritaskan pekerjaan tertentu? Jika hal ini dapat dijumpai, sangat mungkin diri kita berada di dalam atau tengah membangun kultur urgensi semu.

Hambatan dalam berkomunikasi melalui perangkat digital yang tak mengenal konteks, dapat dijembatani melalui keberhatian. Demikian Firman Kurniawan Sujono.
Urgensi semu atau palsu sesungguhnya bermuara dari sesuatu yang baik, karena menggambarkan keinginan dalam diri setiap orang untuk berhasil, namun justru kerap bersandarkan pada rasa serta situasi mencemaskan. Semisal kekhawatiran tidak mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas dengan cepat, khawatir mengecewakan atasan, takut dianggap tak berkomitmen dengan tim sehingga kesempatan pengembangan karir lenyap, serta beragam kekhawatiran sejenis. Namun Smith memberikan pengingat: jika semua hal diperlakukan sebagai prioritas yang mendesak, kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengerjakan sesuatu secara kreatif dan mendalam yang jelas-jelas membutuhkan alokasi waktu berikut ruang memadai.
Menguatnya budaya urgensi semakin terfasilitasi dengan semakin berdayanya teknologi digital, yang merasuki semua aspek kehidupan, termasuk memengaruhi sikap maupun pendekatan kita saat berkomunikasi. Membuat orang-orang punya lebih banyak cara menjangkau kita, berikut menormalisasi anggapan bila kita senantiasa aktif, siap sedia tanpa jeda guna merespon mereka. Sebagaimana penggambaran dari pakar komunikasi asal University of Buffalo, AS, Michael Stefanone, bila menjawab laksana sebuah keharusan, melewatkannya seolah sebuah kesalahan.
Terjangan pandemi Covid-19 membuatnya semakin menjadi, karena penggunaan media digital dalam berkomunikasi, menurut pengajar Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang fokus mengkaji praktik komunikasi digital, Firman Kurniawan Sujono, melenyapkan batasan ruang dan waktu di antara pelakunya. “Waktu pandemi, kita bekerja dari rumah dengan bantuan perangkat digital yang always on, sehingga memunculkan pengertian bila kita selalu dapat dihubungi, membuat urusan pekerjaan bercampur dengan isu domestik di rumah. Ketika pandemi selesai, kebiasaan itu tetap terbawa, seperti tampak pada perilaku yang menganggap jika dihubungi, harus langsung merespon,” ujarnya.
respon dari dirinya jika pesan telah dibaca dianggap cukup
Menurutnya, sejumlah negara berupaya memitigasi imbas merugikan dari praktik komunikasi dan kerja semacam ini dengan memberlakukan aturan main yang lebih spesifik, semisal hanya dapat berlangsung menggunakan perangkat inventaris kantor dengan waktu penggunaan tertentu yang akan terkunci di luar waktu tersebut. Di beberapa negara lain, bahkan hadir ketentuan yang melarang adanya sanksi oleh perusahaan kepada karyawan yang menolak merespon kontak dari atasan di luar jam kerja. Sementara di Indonesia ketentuan serupa belum lagi terpikirkan.
Firman menilai kalaupun regulasi seperti itu sampai ada, tidak mesti dibuat kaku. “Titik tolaknya dari relasi profesional. Sehingga terjadinya komunikasi tetap dimungkinkan, misalkan manakala peran kita dibutuhkan untuk merespon krisis yang dapat terjadi kapan saja di hari libur atau pada saat kita tengah cuti. Termasuk dengan menyepakati seperti apa kriteria sesuatu dapat dianggap sebuah krisis,” katanya mencontohkan. Dengan kata lain, hierarki tetap ada dan berlaku demi efektivitas pekerjaan, begitu pula dengan kedekatan atasan-bawahan yang jadi pemantik motivasi, namun berlandaskan relasi atasan-bawahan yang profesional.
Sisi yang kerap terabaikan – sengaja maupun tidak – dalam komunikasi berbasis digital adalah, perangkat pendukung seperti aplikasi pesan instan WhatsApp tidak pernah memahami konteks sekaligus memberikan ilusi kedekatan ke pemakainya. Ini berbeda dengan komunikasi secara langsung. “Saat berhadapan, saya mengetahui lawan bicara misalnya tengah bersedih. Dalam komunikasi digital, hal itu belum tentu terlihat, sehingga saya tetap memintanya menyelesaikan materi untuk rapat esok hari,” kata Firman mencontohkan. Dalam praktik berkomunikasi, hambatan ini menurutnya dapat dijembatani melalui mindfulness, atau keberhatian. Mempertimbangkan sedang apa lawan bicara kita dengan mencari tahu situasi terkini dirinya apakah memungkinkan untuk menerima penugasan, sementara lawan bicara dapat menyatakan secara terbuka semisal dirinya tidak memungkinkan melakukan pekerjaan tersebut.

Menurut Gita, dinamika kerja semakin nyaman begitu semakin paham lika-liku tugas serta karakter atasannya (ilustrasi).
Menarik, mengingat WhatsApp (dan perangkat sejenisnya) telah menjelma jadi wahana yang semakin diandalkan dalam komunikasi di lingkungan kerja, bahkan sebenarnya membantu mendemokratisasi relasi interpersonal di kantor. Firman mencontohkan sebuah grup WhatsApp beranggotakan karyawan dari satu departemen yang mampu mengaburkan hirarki, karena siapa saja, dari lintas strata kepangkatan, dapat berbicara dan langsung mendapat tanggapan. “Tetapi dalam praktiknya kerap muncul sensasi dan perasaan layaknya komunikasi analog. Seperti percakapan bersifat privat yang justru terkirim tanpa sengaja dan tidak segera terhapus sehingga dibaca oleh pimpinan, atau pesan dari atasan yang masuk pada larut malam. Terjadi hal-hal yang berpotensi menimbulkan suasana tidak nyaman, merusak relasi, karena tidak semua atribut dalam komunikasi tatap muka dapat dibawa serta ke WhatsApp.”
Mitigasi menurutnya dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi secara berkala, karena ‘kejutan’ seperti tadi kadangkala tidak terprediksikan, bukan saja oleh penggunanya, bahkan juga oleh sosok atau perusahaan yang membuat perangkat itu. “Modus komunikasi yang berubah membutuhkan evaluasi dan pembenahan. Jangan terlalu naif dengan berpandangan hal-hal tadi akan beres dengan sendirinya.” Bagaimana evaluasi tadi berwujud, dapat merujuk pada pengalaman Assistant for International Corporate Affairs Director di President Office Sinar Mas, Gita Debora Sihombing. Berada dalam unit yang kecil, dan langsung melapor hanya kepada seorang direktur, dirinya mendampingi atasan yang punya determinasi tinggi dalam bekerja. Rangkaian teks di akhir pekan adalah kelaziman, dan awalnya membuatnya cemas. “Karena aku belum tahu persis apa yang diinginkan dari pesan-pesan itu. Apakah harus dikerjakan saat itu juga, di-weekend, atau tidak,” ujarnya mengenang upayanya mengenali cara bekerja yang diharapkan atasannya, berbasis pesan WhatsApp.
Keberaniannya membuka komunikasi mendapatkan respon baik dari atasannya. Rupanya rangkaian pesan tadi lebih dimaksudkan sebagai catatan agar tidak ada detil yang terlupakan atau terlalui. “Kadang atasan memikirkan banyak hal yang daripada nantinya terlupakan, dikirimkanlah lebih dulu. Agar kami sama-sama in one page, gitu kan. Ya sudah, aku take notes sembari melihat skala prioritasnya. Tidak mesti dikerjakan saat itu.” Respon dirinya jika pesan telah dibaca dan dipahami dianggap cukup. Namun dalam perjalanannya, kadang ada beberapa hal yang memang mesti dikerjakan segera. “Bertemu yang seperti itu, aku tidak boleh terlalu egois juga. Tapi, tidak seperti weekdays, aku cukup melakukannya dari luar kantor, berkirim file seperti itu,” ungkapnya.

Pada momen tertentu, kadang Dita meminta izin untuk dapat merespon keesokan harinya.
Meski menyetujui tersedia aturan main yang mengatur praktik berkomunikasi dan pendistribusian tugas yang dimediasi perangkat digital antara atasan dengan timnya, namun Gita optimistis kesetaraan relasi profesional serta keterbukaan komunikasi dapat menjadi obat alternatif mujarab. “Lebih baik di awal agak pahit, ketimbang serba gak enakan, tapi kemudian merugikan kedua belah pihak. Karena kita memandang relasi ke depan yang masih panjang kan. Apa lagi kita juga tidak bisa berharap terlalu luar biasa begitu selesai berdiskusi, terus kemudian beres kan?” katanya mengenai pentingnya mengevaluasi berkala praktik komunikasi berbasis gawai antara dirinya dengan atasannya. Selain keterbukaan, pengalaman atau jam terbang dirasakan dapat menjembatani. Karena walaupun teks yang masuk tidak mensyaratkan penerimanya mengerjakannya saat itu juga, namun mereka sudah langsung memikirkannya saat itu juga. “Tapi setelah sekian waktu, begitu mulai dapat mengenali pekerjaanku, juga karakter atasan, aku merasa lebih santai, tak se-intense sebelumnya,” kata Gita.
Mirip pengalaman Dita Kusuma Hapsari yang tak kurang dari tahun 2015 hingga 2021 sempat menjalani karir selaku Scholarship & Fellowship Officer di Eka Tjipta Foundation. Atasannya kerap membutuhkan informasi seketika dengan bertanya melalui WhatsApp. Ini kadang terjadi di luar jam kerja. Pengalamannya mengelola pendistribusian beasiswa menjadikan pertanyaan yang datang, kerap kali dapat dijawabnya tanpa perlu menelisik data yang ada dalam komputer, cukup berbasis kekuatan ingatannya. Rentang waktu yang ia lalui bersama sang atasan juga membuatnya dapat menetapkan apakah ada sesuatu hal yang butuh respon segera atau tidak, yang mana terhitung sebagai krisis dan mana yang bukan. “Saya tahu isunya, karena semua telah menjadi pembahasan kami di kantor,” cerita Dita.
Tidak semua yang masuk mesti dikerjakan seketika itu juga. “Kadang-kadang kebutuhan itu datang selepas jam sembilan malam, pada saat saya harus berfokus pada anak-anak di rumah. Saya meminta izin untuk meresponnya besok,” kisah Dita mengenai komunikasi dengan atasannya ketika itu. Meminta izin penundaan atas pertimbangan khusus, bukan pertanda lemahnya komitmen pada pekerjaan. Jangan terburu-buru melabelisasi atasan terpapar urgency culture. Sebagaimana Gita, Dita bersama atasan mereka menunjukkan bagaimana fenomena ini dimitigasi. Tak ingin terkelabui ilusi kedekatan palsu gegara penggunaan perangkat komunikasi digital, mereka berkomunikasi lebih terbuka.
Penulis: Jaka Anindita, Rafi Ardiansyah
Foto: Jaka Anindita, ilustrasi dan koleksi pribadi narasumber