“Orang semakin mudah menarik garis batas antara kami dengan mereka berdasarkan pemikiran tertentu tentang agama”
Relevansi kajian atas pemikiran politik Islam yang dicetuskan Syeik Muhammad Rashid Rida, pemikir reformis asal Mesir kelahiran Suriah dengan ide politik Yahudi dari Rabi Isaac Herzog dalam kehidupan sosial politik di Indonesia, menurut Akhmad Sahal adalah sisi persinggungan antara nation state atau negara kebangsaan dengan hukum agama. “Dalam negara kebangsaan, hukum berlaku setelah disahkan oleh negara, sementara di sisi lain terdapat pula hukum agama. Salah satu problem yang muncul ketika timbul semacam ketegangan, antara mana yang harus dipatuhi. Orang kemudian kadang mempertentangkan antara hukum agama dengan hukum positif. Misalnya ada klaim hukum negara itu kan buatan manusia, sementara hukum agama buatan Tuhan. Hal serupa terjadi di Israel dan Timur Tengah,” ujar Sahal di sela persiapan melanjutkan studi doktoralnya di University of Pennsylvania, AS.
Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak mempertentangkan hal ini. “Mereka memaknai NKRI sebagai negara perjanjian atau kesepakatan, sementara muslim diajarkan untuk menaati janji dan kesepakatan, termasuk terhadap non-muslim. Sepanjang pemerintah atau negara tidak melanggar syariah, mengikutinya menjadi wajib karena kita berada dalam kesepakatan tadi. Di Indonesia, kesepakatan terwujud dalam konstitusi dan Pancasila.” urainya.
Benarkah kajian yang terkesan ‘berat’ itu yang mempertemukan dirinya dengan Eka Tjipta Foundation tahun 2016 melalui Beasiswa Luar Negeri, yang sebelumnya dikenal sebagai beasiswa Tjipta Pemuda Bangun Bangsa? Ternyata tak serta merta begitu, “Yang kami perbincangkan saat itu justru isu kebangsaan,yang memang menjadi minat saya. Terlebih saat orang semakin mudah menarik garis batas antara kami dengan mereka berdasakan pemikiran tertentu tentang agama. Dimana yang tak sesuai dengan pemikiran mereka, lantas dianggap menyimpang. Di situ titik temunya,” ungkapnya mengenang pertemuannya dengan Ketua Umum ETF, G. Sulistiyanto dan Direktur Eksektutif ETF ketika itu, Joice Budisusanto. Hal itu pula yang membuat dirinya mengapresiasi dukungan sektor privat – di antaranya Sinar Mas – atas kampanye kebinekaan yang didorong Pemerintah melalui Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Tak lupa, peneliti yang juga Wakil Ketua Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama Amerika Serikat ini berharap ada lebih banyak lagi lembaga yang menyediakan beasiswa khusus bagi penggarapan disertasi seperti yang diperolehnya. Utamanya pada kajian humaniora, yang langsung menyasar pada kehidupan bermasyarakat, atau social engineering. Termasuk mengusulkan adanya beasiswa pasca doktoral, “Bagi mereka yang telah menyelesaikan disertasinya, dan tengah mengembangkan lebih lanjut risetnya. Di Indonesia, setahu saya belum ada yang semacam ini.”
Reporter: Jaka Anindita, Noveradika
Penulis: Jaka Anindita
Desainer Grafis: Fanny Fransiska