Ragam skema pendanaan dimanfaatkan pemerintah daerah untuk membenahi ruang terbuka publik. Meski kontroversi hingga politisasi selalu mengikuti, publik mengapresiasi.
(foto Iwan Romadhona)
Sekelompok pria berupaya menemukan seseorang diantara keramaian pawai budaya di Papua Square. Jajaran penari tradisional Bali, barisan ogoh-ogoh berukuran raksasa, dan ribuan obor yang dibawa berjalan kaki beraksi, memenuhi lokasi itu hingga ke pedestal atas monumen yang ada di tengah lapangan. Bukan perkara mudah saling mencari di keramaian sedemikan. Tapi sambil berjalan melawan arus pawai, mereka berhasil mendapati satu sama lain. Terjadi perkelahian di tengah keramaian, yang akhirnya tercerai-berai karena berlanjut dengan baku tembak.
Kemisteriusan Papua Square adalah penggalan adegan puncak dari film Blackhat besutan Michael Mann, sutradara kawakan yang kerap menampilkan lansekap perkotaan yang menawan, kadang kelam, sekaligus misterius di tiap karyanya. Setelah karya terdahulunya seperti The Insider, Heat, Collateral, dan Public Enemies, juga serial televisi Miami Vice yang pernah populer di Indonesia, kini giliran kota Jakarta yang ditampilkannya.
Dalam sebuah wawancara, Mann menyatakan dirinya berupaya menampilkan ketegangan karakter utama filmnya yang diperankan Chris Hemsworth selaku sosok asing, berada di lingkungan yang juga asing. Jakarta, metropolitan yang menampung hingga 20 juta orang di siang hari, dan menyisakan 10 juta penduduk saat malam tiba, menurutnya adalah latar belakang yang menarik. Demikian halnya bentangan Lapangan Banteng yang dimunculkan sebagai Papua Square
Terlepas dari Blackhat yang dituntaskan dengan anggaran mencapai 70 juta dolar AS namun ‘hanya’ mampu meraih sekitar 20 juta dolar AS dari penayangannya di seluruh dunia, bagi warga Jakarta, dan mungkin juga Indonesia, film itu memberikan catatan khusus. Sosok Lapangan Banteng dan Monumen Pembebasan Irian Barat di tengah-tengahnya, yang jelang 60 tahun keberadaannya di sana, sempat menjadi ikon kota Jakarta, kemudian terlupakan, kini kembali tampil.
Tak lama setelah Blackhat tayang tahun 2015, Lapangan Banteng layaknya keluar dari ketersembunyian. Menurut arsitek Yori Antar, renovasi yang berlangsung sejak 2017 dilakukan untuk memunculkan kembali monumen berikut maknanya yang masih relevan hingga sekarang. “Karena setelah membebaskan Irian Barat ketika itu, bangsa Indonesia hingga kini masih harus merebut hati saudaranya, rakyat Papua,” ujarnya. Monumen Pembebasan Irian Barat adalah pengingat jika pembangunan di Bumi Cendrawasih selain menyejahterakan secara fisik, mestilah membangun kemandirian, berikut memelihara jati diri mereka.
Hal itu menyebabkan ia beserta koleganya memulai renovasi dengan meluruskan kembali poros atau sumbu monumen (utara-selatan dan barat-timur) yang sepanjang perjalanan waktu telah berubah akibat pengembangan kawasan di sana. Sudut yang menyempit di sekitar Lapangan Banteng diperlebar, sementara akses yang sebelumnya terpotong dan menjadikan lapangan terasa sempit, kembali di buka sehingga ruang publik bagi warga semakin lega. “Sekaligus mengembalikan kedudukannya sebagai monumen kedua terpenting di Jakarta setelah Monumen Nasional,” katanya.
Upaya ‘meluruskan’ ini juga diharapkan dapat meningkatkan, atau mengembalikan nilai dan histori sejumlah bangunan bersejarah lain yang bertetangga dengan Lapangan Banteng, diantaranya Monumen Nasional, Gedung AA Maramis di Komplek Kementerian Keuangan, hingga Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
Bangunan ampiteater yang berdiri belakangan, ditempatkan tidak lebih tinggi dari pelataran bawah atau pedestal monumen, karena fungsinya yang melengkapi monumen. Nantinya beragam kegiatan publik dapat digelar di sini dengan dukungan air mancur, sistem suara, bertempat di sebuah struktur layaknya panggung yang mengkopi pedestal atas patung.
Agar lansekap monumen tak terkesan berat sebelah setelah ampiteater tegak berdiri, di seberangnya hadir Bangunan Bendera yang dapat digunakan menyemarakkan beragam kegiatan nasional dan publik, utamanya yang bersifat menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme. Di sisinya, bisa dijumpai sejumlah panel yang memaparkan perjalanan sejarah Irian Barat sejak masa kolonial, hingga bergabung dengan Indonesia sebagai Provinsi Irian Jaya, dan kemudian menjadi Provinsi Papua. Ajang terdekat yang difasilitasi adalah, Asian Games 2018 bulan Agustus, dimana bendera setiap negara peserta berkibar di sana.
Dirinya meyakini dengan hijrah ke fungsi semula, yang tampil terbuka, citra lama Lapangan Banteng yang berada di jantung Jakarta, namun identik dengan tindak kriminal dan asusila, akan bergeser menjadi sarana interaksi warga kota yang sehat, membahagiakan, dengan kandungan nilai histori serta fungsi pendidikan publik yang istimewa. “Banyak ruang terbuka hijau yang ada, karena ketertutupannya akhirnya justru membusuk, tak tampak, dan tak lagi dikunjungi masyarakat. Keberadaan lahan dan fasilitas pendukung di dalamnya justru diperjual belikan,” sesal Yori.
(foto Iwan Romadhona)
Indikasi merindunya warga pada ruang publik terbuka, tampak dari aktivitas mereka di lapangan yang – saat liputan dibuat – sebenarnya belum lagi tuntas berdandan. Ragam aktivitas sudah berlangsung di situ. Sudah barang tentu dokumentasi aksi mereka terdapat pula di media sosial, seperti Instagram misalnya. Di dalamnya sedikitnya sudah ada lebih dari 10 ribu foto juga video bertagar Lapangan Banteng.
Revitalisasi Lapangan Banteng membuat kawasan seluas lebih dari 10 hektar itu, kini memiliki sejumlah zona. Pertama adalah Zona Olahraga dengan sejumlah fasilitas pendukungnya yang terbuka 24 jam bagi masyarakat. Lapangan sepak bola, lintasan lari dan lapangan basket tetap berada di sana, dan telah diperbarui, sedangkan tribun di sisinya menghilang. Sementara Zona 2 adalah Zona Monumen, dimana monumen dikembalikan rupa dan tujuan kehadirannya. Di sebelahnya terdapat Zona 3, Hutan Kota. Jika Zona Olahraga pembangunannya berasal dari dana komitmen corporate social responsibility sebuah perusahaan jaringan rumah makan siap saji, Zona Monumen dan Hutan Kota dibangun memanfaatkan dana kompensasi koefisien lantai bangunan dari sebuah pengembang.
Sutradara Michael Mann (kanan) bersama aktor Chris Hemsworth saat pengambilan gambar di sisi Monumen Pembebasan Irian Barat, Lapangan Banteng (foto Metro TV).
Keberadaan monumen membuat renovasi di Zona 2 sangat menantang, termasuk saat konsep dan rancangan yang diajukan mesti melalui persidangan dengan Tim Sidang Pemugaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Waktu yang dihabiskan untuk menjalani sidang bahkan lebih banyak dari waktu yang kami habiskan untuk hadir di lokasi proyek ini,” ujar Yori mengibaratkan rangkaian persidangan yang harus mereka lalui hingga 10 kali sepanjang setahun. Masukan dari anggota sidang yang berisikan para pakar perkotaan, arsitektur hingga sejarah – diakuinya membuat hasil revitalisasi monumen menjadi lebih maksimal.
Menurut Candrian Attahiyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, renovasi sebuah monumen bersejarah memang tidak sederhana. “Nilai dan visi sejarah yang ada tetap dipertahankan, tapi jangan sampai menjadi penghambat. Artinya, kompromi guna mengakomodasi kepentingan kekinian dimungkinkan.” Ia mencontohkan, Lapangan Banteng – yang merupakan cikal bakal ruang terbuka publik di Jakarta – memiliki ruang pandang menjangkau seluruh bangunan penting yang ada di sekelilingnya, ketika itu. Sebagian besar bangunan tersebut masih ada hingga kini, sehingga revitalisasi sebaiknya membuka kembali ruang pandang yang sekian lama sempat hilang, tertutup. Kebutuhan penghijauan, menurutnya dapat diakomodasi dengan memilih jenis tanaman yang tidak menjulang menutupi pandangan pengunjung yang datang ke sana.
Rekomendasi untuk menjaga, atau kembali menghadirkan nilai sejarah yang tenggelam membuat para arsitek menyelaraskan segenap struktur baru di Lapangan Banteng dengan genre arsitektur moderen yang dibawa oleh perancang Lapangan Banteng, ikon arsitektur Indonesia, Friedrich Silaban, dimana fungsionalitas dan kesederhanaan menjadi tujuan utama. Pendekatan semacam ini menghasilkan bangunan yang efisien, bersahabat dengan lingkungannya, sehingga perawatannya pun lebih sederhana, hal yang dimunculkan lagi di sana.
Candrian Attahiyat. Kekhidmatan dijaga oleh program kegiatan yang selaras dengan nilai histori yang dimiliki monumen.
Bagi pengunjung yang terpisah waktu terlalu jauh dengan peristiwa yang melatarbelakangi didirikannya monumen, menurut arkeolog yang pernah memimpin Unit Pelaksana Teknis Kota Tua ini mesti dijembatani dengan kreatif. “Setidaknya disediakan informasi sejarah, tapi juga jangan norak hingga mengaburkan visual dan peninggalan yang ada,” tuturnya diikuti tawa. Panel informasi di sepanjang dinding Bangunan Bendera adalah jawabnya.
Dinding informasi, bagi pengunjung yang belum mengetahui makna Monumen Pembenbasan Irian Barat.
Setelah fisik lapangan dan monumen dapat dimunculkan kembali, butuh roh untuk menghidupkan lagi Lapangan Banteng. Kekhidmatan mesti terjaga, dan itu dapat dilakukan dengan merancang program kegiatan yang selaras dengan nilai histori yang dimiliki monumen. “Jangan sampai kegiatan yang dilakukan di sana melahirkan citra baru yang sama sekali berbeda dengan niatan awal pendirian monumen,” Candrian menyarankan. Bukan apa-apa, citra tempat ini pernah beberapa kali berganti.
Di periode 60 hingga awal 80-an, tempat ini kerap menjadi pilihan menjalankan agenda politik dalam wujud pengerahan massa. Dari mulai tempat berlatih para relawan Trikora, dan Resimen Mahasiswa Universitas Indonesia, lokasi gelaran gelombang aksi menuntut turunnya Orde Lama, kemudian berlanjut menjadi pusat konsentrasi massa mengkritik rezim Orde Baru, tak ketinggalan menjadi titik kumpul massa partai politik saat kampanye jelang pemilihan umum. Satu yang tak terlupakan adalah bentrokan besar antara pendukung PPP dengan massa Golkar yang sedang berkampanye di sana, pada 18 Maret 1982. Selain pernah identik sebagai terminal bus, belakangan Lapangan Banteng sempat pula sohor sebagai lokasi pameran flora dan fauna. Candrian memperkirakan, penyebab Lapangan Banteng menjadi pilihan utama berkumpulnya massa karena Monumen Nasional yang memiliki lapangan lebih luas, baru rampung terbangun tahun 1975.
Selasa malam (24/7) jelang peresmian.
Setelah Parade
Operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora dicanangkan 19 Desember 1961 oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta, untuk menggagalkan upaya Belanda membentuk negara Papua Barat. Diperantarai AS dan PBB, konflik militer yang lebih besar dapat diakhiri melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, dan belakangan melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat pada 14 Juli 1969, Papua berintegrasi dengan Indonesia.
Soekarno melihat sosok Mayor (TNI), Johannes Abraham Dimara dalam parade Kemerdekaan RI tahun 1962, yang tampil dengan rantai terputus pada tangan dan kakinya. Gaya pahlawan nasional yang terlibat dalam berbagai aktivitas perang kemerdekaan, termasuk mewakili Indonesia di Perjanjian New York ini, meletupkan ide untuk membangun Monumen Pembebasan Irian Barat.
Berawal dari Iseng
Bermula dari pembangunan pagar mengelilingi lapangan olahraga yang kini dikenal sebagai Zona Olahraga, memanfaatkan pendanaan dari kompensasi koefisien lantai bangunan sebuah perusahaan pengelola jasa penginapan. Waktu itu, di tahun 2017, Yori dan rekan-rekannya merasa tanggung jika hanya mendesain pagar, sehingga para arsitek tadi sekalian pula merancang revitalisasi Lapangan Banteng secara menyeluruh, tanpa diminta.
Dinas Kehutanan Pemprov DKI Jakarta yang ketika itu masih bernama Dinas Pertamanan dan Pemakaman, tertarik melihat rancangan tersebut, dan mempresentasikannya ke hadapan Gubernur saat itu, Basuki Tjahaja Purnama. Gayung bersambut. Digarap menggandeng firma konsultan desain PT Arkonin, pengerjaannya meliputi segenap Lapangan Banteng.
Seputar kontroversi, polemik hingga politisasi, dianggap Candrian sebagai bagian yang lekat dengan keberadaan ruang publik maupun monumen. Seperti tampak dari Lapangan Banteng yang sekian kali berganti nama serta tampilan sejak masa kolonial Belanda, Inggris, Jepang, pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga sekarang. “Wacana politik yang tengah berlangsung, sering ikut menyasar ruang publik.”
Rezim berganti, kebijakan mungkin berubah, kegunaan pun bisa berbeda. Namun harapan telah hadir di sana. Agar sudut seperti Lapangan Banteng dengan monumen nya dapat berfungsi layaknya generator. Menggerakkan warga untuk berinteraksi di sebuah ruang publik, tanpa sekat, membuat kota dan warganya semakin dekat, bertambah manusiawi. Menjadi sumber inspirasi banyak inisiatif maupun ide ‘liar’ namun positif hingga ke berbagai pelosok kota, tak hanya Jakarta.
Reporter: Caecario Vito, Jaka Anindita, Noveradika
Foto: Noveradika, Iwan Romadhona
Penulis: Jaka Anindita
Desainer Grafis: Fanny Fransiska
Tags: Ahok, Ali Sadikin, Anies Baswedan, Blackhat, Caecario Vito, Candrian Attahiyat, Fanny Fransiska, Friedrich Silaban, Iwan Romadhona, Jaka Anindita, Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Monas, Monumen, Monumen Pembebasan Irian Barat, Noveradika, Sinar Mas Land, Soekarno, Trikora, Yori Antar