“Kalo kata anak sekarang, gue menang banyak,” ujar Kaka tersenyum nakal ke arah rekan-rekannya di atas panggung, serta puluhan ribu Slankers di hadapannya, yang hanya bisa bersorak riuh menyambut kecupan di pipi dari Eva Celia setelah mereka berdua menutup lagu Terbunuh Sepi. Konser besar memperingati hari jadi ke-35 band yang ia gawangi itu memang memberikan, juga menunjukkan banyak hal.
Sudah barang tentu ada nostalgia, seperti saat Slank membuka pentas melalui rangkaian lagu Cinta Kita, Menyakitimu, dan Anyer 10 Maret sekitar jam 20.30, mulur satu setengah jam dari jadwal yang tertera pada tiket. Jauh sebelum pentas, Slank telah menjanjikan bakal membawakan sejumlah lagu yang selama ini jarang mereka tampilkan di pentas terbuka.
Selamat Hari Ibu. Abdee, Kaka, Ivanka, Ridho dan Bimbim mengapit Bunda Iffet.
Sebelum konser berlangsung Minggu malam tanggal 23 Desember, Slank adalah band dalam negeri terakhir yang menggelar konser tunggal di Gelora Bung Karno, persisnya saat mereka berulang tahun ke-30, 2013 silam. Jauh lebih ke belakang, tercatat Kantata Takwa pernah mengguncang tempat yang sama – ketika itu masih bernama Stadion Utama Senayan – pada tahun 1990.
Ridho Hafiedz. Klinik gitar malam ini: two handed tapping.
Jika Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi tempatnya, stage dan sound megah adalah syaratnya. Itu yang disimak dan dirasakan lebih dari 50 ribu penonton yang mengepung panggung dua tingkat berukuran hampir 1.000 meter persegi. Tata suara berkekutan 400 KvA berhasil menampilkan secara utuh musikalitas personil Slank, terutama vokal Kaka yang tinggi melengking. Sementara kehadiran lima layar lebar di belakang panggung, menjadikan penonton, bahkan dari kejauhan pun leluasa menyimak aksi panggung mereka, orang per orang.
Pemandangan di tribun. Indahnya konser di era smartphone.
Dhani Pette yang menjadi promotor pementasan melalui POS Entertainment tahu persis kekuatan tata suara, pencahayaan, berikut paket multimedia yang ditampilkan dalam konser bertajuk Indonesia Now ini mesti mampu melambangkan Slank sebagai satu dari sedikit band Indonesia yang sanggup melalui perjalanan waktu dengan terus mengeluarkan karya, menggelar tur panjang bagi massa penggemar yang sangat besar.
Haji Ivanka mendapat ucapan selamat dari Kaka. Tak hanya rock dan blues, tausiah juga mahir.
Tiga setengah dasarwarsa juga berarti kemampuan menjaga idealisme sembari beradaptasi yang prima. “Gak perlu secepat milenial, tapi jangan sampai tertinggal jauh dari mereka,” begitu Kaka dari atas panggung mengomentari langkah bandnya untuk tetap hadir di tengah peta musik terkini. Itu menjawab mengapa para musisi dan penyanyi yang ikut naik panggung, adalah para milenial. Sekaligus menjelaskan, kenapa Indonesia Now – mengambil dari judul single terakhir mereka – menjadi tajuk pementasan. Yakni mengingatkan milenial jika teknologi membuat jalannya kehidupan semakin cepat juga ringkas, tapi mesti diiringi pertimbangan dan empati yang semakin dalam.
Bimbim mendampingi Bunda Iffet. 35 tahun yang berliku dan tak mudah. Seperti halnya membaca pesan melalui smartphone di atas panggung.
Sejumlah lagu diaransemen ulang agar lebih kekinian, tanpa kehilangan nyawa. Kadang mengejutkan, dapat pula membingungkan. Terbunuh Sepi yang dibawakan bareng Eva Celia satu contohnya. Penonton yang biasanya selalu sing along di nomor ini, malam itu sempat terdiam cukup lama. Beberapa penonton di tribun, sambil guyon menyebut, “Eva berhasil membunuh Terbunuh Sepi.” Menjangkau ranah baru memang demikian adanya. Lagi pula penonton di bawah langit Jakarta yang bersih malam itu terlalu berbahagia dan tak ingin merusaknya. Sebagai pembanding, di Jakarta Fair, Kemayoran bulan Mei silam, sepanjang konser, tak kurang tiga kali Kaka, Bimbim dan Ridho mesti mengingatkan para penonton yang saling dorong, lempar bahkan sempat baku pukul di depan panggung. Kali ini, dalam pentas yang jauh lebih besar, tak ada insiden macam itu.
Pesan Bunda: jangan abaikan penggemar.
Pesan dari Bunda Iffet Viceha Sidharta – saat didapuk naik panggung – tentang kebersahajaan, kesederhanaan, tak sekalipun mengabaikan penggemar, serta hidup sehat jauh dari narkoba dan perilaku merusak, menunjukkan keberlanjutan karir Slank, selain karena kerap berkenalan dengan hal baru dan menghindari sekadar ‘main aman’, juga disebabkan kesetiaan pada nilai-nilai dasar pendirian band. Kalau Bunda Iffet menyampaikan pesan, Ivanka sang pemain bass mendapatkan kesempatan menyampaikan tausiah tentang empati dan kepedulian terhadap sesama. Kali ini giliran beberapa jurnalis foto di bibir panggung yang heran, tak mengira ada siraman rohani di tengah pementasan rock. Band satu ini memang tak pernah kehabisan cara dalam menyampaikan pesan atau ide mereka.
Kaka bersama Eva Celia, Sistha Anindya, Marion Jola dan Aurelie Mooremans. Menang banyak malam itu.
Melesat sejak album pertama, bongkar pasang personil, tersandung narkoba, tersadar dan kembali produktif membuat band ini matang. Dengan statusnya kini sebagai Duta Badan Narkotika Nasional, penonton mesti berhenti berharap ada stoner song atau lagu bernuansa ‘indahnya’ pengaruh alkohol atau narkoba dalam playlist mereka saat konser. Tanpa henti berkarya, menyampaikan pesan kedamaian, cinta kasih, nasionalisme, serta toleransi dan kelestarian lingkungan, jauh lebih penting. Maklum, popularitas telah mereka raih sejak lama. Saat ukuran sukses komersial tak lagi lewat raihan penjualan album, Slank selalu punya jalan untuk tetap relevan di puncak. Katalog musik mereka berisikan 21 buah album.
Vulcan salute ala Mr Spock. Biarpun hanya delapan lagu terakhir, Abdee Negara malam itu paling dikangeni Slankers.
Jelang pergantian hari, saat konser usai, penonton di Tribun VIP yang diantaranya para eksekutif dari perusahaan serta lembaga yang berkontribusi dalam konser, pulang dengan pelajaran bagaimana sebuah brand dibentuk, dikelola, sekaligus beradaptasi dengan kreatif.
Indonesia Now
Penulis: Jaka Anindita
Desainer Grafis: Fanny Fransiska
Tags: GBK, Gempur M Surya, Jaka Anindita, Konser, Rock, Sinar Mas, Slank, Slankers