Breaking

Menyembunyikan Identitas Diri

Breaking News / Jendela / Slider / Top News / April 21, 2020

Psikolog sekaligus komposer yang kerap memanfaatkan lagu sebagai wahana pendidikan anak, Ribut Cahyono dalam sebuah kesempatan menyatakan jika aransemen berperan menerjemahkan fungsi dari sebuah lagu. Dengan kata lain, bertugas menyampaikan efek yang hendak diperoleh dari lagu tersebut.

Itu sebabnya, sebelum berkarya bagi klien mereka, komposer akan menggali terlebih dulu, “Lagu ini untuk pemakaian seperti apa, akan dipakai internal atau untuk publik seperti konsumen. Karena akan berbeda pendekatannya,” ujar komposer Addie MS, Senin (16/3) yang jelang pemberlakuan pembatasan fisik, masih bersedia membagi waktu, berbincang dalam lounge yang lengang pada sebuah hotel di bilangan Senayan, Jakarta Selatan. Begitu dirinya mengetahui lagu tersebut akan diperdengarkan di ruang publik, guna membangun suasana nyaman, berikut perasaan diri yang positif bagi pendengarnya, ia dapat menetapkan gubahannya nanti adalah sebuah theme song, bukan mars, bukan pula himne, apalagi jingle.

Ini bermakna, para pembaca yang sebelumnya sempat menelaah artikel bertajuk Membedakan Himne, Mars atau Jingle, mendapatkan referensi tambahan bahwasanya tak hanya himne, mars, maupun jingle, tapi masih ada yang disebut dengan theme song.

 

“jika klien sampai memilih karya yang menurutku kurang bagus, malunya akan sepanjang hidup”

 

“Jadi gak bisa yang terlalu gembira, tidak nge-beat banget, tapi juga gak bisa soft banget. Dari sisi tempo dibiarkan mengalir, bukan tersendat seperti balada yang berperasaan, tapi juga bukan nge-rock, bukan pula yang nge-beat seperti jazz fusion, bukan. Tapi yang memberikan efek relaxing, smoothing. Di dalamnya liriknya tersugestikan bahwa, Anda, pendengarnya, aman di tangan kami, karena kami peduli pada Anda,” demikian Addie menggambarkan. Tidak begini, bukan juga begitu, membuat awam kesulitan menebak seperti apa komposisi itu nantinya. Namun penggambaran ini berasal dari sosok yang telah menghabiskan lebih dari 40 tahun karirnya menggubah berbagai jenis lagu dan komposisi, bagi beraneka pihak.

Dalam proses kreatif, komposer menurutnya mesti wawas diri. “Salah satu tantangan yang cukup sulit adalah bagaimana menghilangkan ego. Berbeda jika kita membuat lagu untuk diri sendiri, di mana kita menunjukkan identitas diri di sana, untuk klien seperti institusi, aku berusaha agar lagu yang kubuat tidak menampilkan identitas diriku. Karena lagu ini milik institusi tadi.”

Lantas jika banyak komposer hanya memberikan alternatif tunggal bagi kliennya, Addie punya penjelasan versinya sendiri. “Awalnya dulu, aku selalu bikin tiga alternatif. Dari pengalaman itu, aku justru merasa membohongi diri sendiri, karena di antara tiga lagu tadi, ada satu yang menurutku paling tepat, paling cocok. Jika klien sampai memilih di luar itu, aku malah malu sendiri. Karenanya, semenjak tahun 2000-an dirinya memberlakukan policy hanya menyerahkan satu karya, ketimbang klien memilih karya yang menurutnya kurang bagus, “Malunya akan sepanjang hidup.”

 

Klien dari korporasi berarti menyelami pula selera musik para petingginya, “Karena merekalah yang nanti memberikan approval.”

 

Musik tanpa lirik sanggup mempengaruhi perasaan pendengarnya, begitu hadir lirik akan memberikan daya lebih mendalam. Penyuaraan oleh vokalis yang tepat dapat membangun suasana semakin sesuai, namun dirinya menghindari karakter yang terlalu khas dari sang penyanyi. “Kan ada penyanyi yang waktu kita dengar, langsung kita tahu, oo si anu, itu harus dihindari. Kalau sudah terlalu khas, bagaimanapun ada yang suka, ada yang gak suka. Bahkan bisa sampai menghubungkan dengan karakter kesehariannya, gosip-gosipnya. Bayangkan citra klien yang dapat turut terbawa,” tuturnya. Padahal berkarya untuk institusi menurutnya punya beban yang lebih berat, “Karena aku ibarat membuat lagu kebangsaan mereka. Yang akan mereka gunakan selamanya.”

 

 “karena aku ibarat membuat lagu kebangsaan mereka. Yang akan mereka gunakan selamanya”

 

Curah pendapat dengan klien menjadi tahap yang cukup menantang dalam proses kreatif. Dirinya biasa meminta klien untuk kritis atau cerewet di awal. Klien yang memberi kebebasan sedari awal dinilainya justru membahayakan proses penciptaan, karena dapat berubah pikiran di tengah atau bahkan pengujung jalan. Menghadapi yang semacam ini Addie selalu mencari tahu referensi musik mereka, memperdengarkan lagu-lagu yang sekiranya mereka minati. “Kalau orang yang suka dangdut banget, kita berikan jazz atau klasik sebagus apapun, buat dia tetap terdengar jelek. Jadi selain menggali karakter serta visi dan misi lembaga, aku perlu mengetahui karakter dan referensi musik para petingginya. Karena merekalah yang nanti memberikan approval,” cerita Addie bagaimana dirinya bermain di ranah psikologis klien.

Sepanjang perjalanan karir kreatifnya, Addie tak lagi ingat berapa ratus karya yang telah ia selesaikan untuk kliennya. Dari mulai beragam badan usaha milik negara, perusahaan swasta, lembaga keagamaan, asosiasi profesi, organisasi masyarakat, hingga TNI. Mulai dari dua bulan beres digarap, hingga ada yang sampai selama sepuluh bulan berlangsung, baru karya tersebut tuntas, sesuai kebutuhan kliennya.

Melewati proses seperti yang disebutkannya tadi, di tahun 2019 dirinya membutuhkan setidaknya enam bulan mengemas sebuah komposisi, “Hari ini brief panjang lebar, besoknya belum mood, besoknya ternyata belum mood juga, terus saja seperti itu, sampe akhirnya teringat lagi, masuk kamar, ke studio, balik ke rumah, kadang hanya berjalan-jalan, melamun,” kenangnya. Begitu selesai, partitur orkestrasi diterbangkan ke Praha, Republik Ceko untuk dimainkan, sementara mastering berlangsung di Jakarta. Sosok yang membawakannya adalah Dhea Miranda, vokalis muda yang ia rasakan sesuai, dengan niatan memberikan nuansa ketenangan karena berada di tangan yang terpercaya, memupus kecemasan kala pendengarnya menanti saat konsultasi, tindakan atau membesuk tiba. Pada bulan November, karya itu resmi diserahterimakan, judulnya Theme Song Eka Hospital.

 

SMILE Magazine edisi ke-21

Penulis: Jaka Anindita

Kontributor: Yulrandro Dave, Yohanes Januadi

Editor naskah: Sidhi Pintaka

Foto: Noveradika

 


Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,



Jaka Anindita




Previous Post

Pengusaha Peduli NKRI: Jauh di Mata (Karena Physical Distancing), Dekat di Hati

Next Post

ETF Peduli Covid-19: Melihat dan Berbuat ke Dalam





You might also like



0 Comment


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


More Story

Pengusaha Peduli NKRI: Jauh di Mata (Karena Physical Distancing), Dekat di Hati

Bermula dari konfirmasi Pemerintah atas kasus pertama pasien positif terinfeksi virus korona (Covid-19) di awal Maret 2020,...

April 7, 2020