Mengaku tidak pernah bercita-cita menasionalkan Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal mengenang, “Saat pulang dari luar negeri, kami hanya membawa pengalaman batin, khususnya anak-anak kami, karena hanya sedikit anak Indonesia yang bisa merasakan pendidikan di luar negeri.” Mengangankan suasana sekolah di Indonesia dapat berlangsung menggembirakan sehingga para siswa betah belajar seperti yang dilihatnya di negeri seberang, memunculkan jiwa aktivisme mereka, “Kenapa membuat sekolah yang hanya dapat dinikmati orang tertentu, 100 atau 200 orang siswa. Bagaimana dengan anak-anak yang lain, yang banyak jumlahnya?”
Tahun 2012, bersama dengan sang istri, ia memutuskan membuat sebuah gerakan, menyasar sekolah-sekolah marjinal atau non favorit. “Sekolah favorit ngapain dibantu, mereka sudah berdaya. Yang mesti dibantu adalah sekolah terpinggirkan, dan sangat banyak jumlahnya. Itu menjadi konsep kami.”
Tidak pernah berniat mengasongkan ide juga menjadi landasan gerakan ini, “Lokasi rumah saya kan di Sleman, ya sudah di Sleman saja, maksimal menjangkau Yogyakarta. Saya bukan orang kaya, bukan pejabat, dan hanya bisa menjangkau sekolah-sekolah di sekitar saya.” Namun sikap tahu diri dan ketelatenan mereka membawa GSM bertumbuh dan berbuah, “Alhamdulilah-nya di Sleman, bulan September (2019, red) ini akan menjadi peraturan bupati dan melalui MoU dengan pemerintah daerah. GSM akan menjadi proyek resmi untuk pengembangan SD dan SMP di Sleman. Bahkan sekolah yang dijadikan model, sudah lebih dulu mendapat pendampingan GSM sejak 2016,” demikian Rizal yang ketika itu menempuh pendidikan strata tiga di Monash University, Australia.
Hal itu melegakan dirinya karena gerakan akar rumput yang mereka rintis mampu menyeruak, dimanfaatkan tanpa pernah mereka tawarkan, namun karena para pemegang kekuasan memutuskan perlu mengadopsinya.
“yang mesti dibantu adalah sekolah terpinggirkan, dan sangat banyak jumlahnya”
Demikian pula yang terjadi saat di tahun 2017 Sinar Mas Land mendengar kiprah GSM di Kabupaten Sleman, tertarik mengetahui lebih jauh, lanjut bermitra menjangkau 10 sekolah menengah pertama di Tangerang Selatan, dan meluas hingga menjangkau 500 sekolah, dengan memberikan pelatihan bagi 1.500 orang guru dan pengawas yang bertugas di sana. Sekian waktu berlangsung, capaian akademik siswa dan sekolah, menurut SML, terpantau meningkat. Serupa dengan raihan Penerimaan Peserta Didik Baru sejumlah sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata, mengalami peningkatan hingga 50 persen setelah mengadopsi inisiatif GSM. Tak kalah menggembirakan, para orang tua dan wali murid menyebut karakter anak-anak mereka semakin baik.
Dalam banyak kesempatan, Rizal – yang tak meninggalkan aktivitasnya mengajar di Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada – hadir bersama Novi Poespita Candra kala berbagi tentang GSM. Namun karena di saat berbarengan, sang istri yang seperti juga Rizal, adalah seorang dosen, persisnya di Fakultas Psikologi UGM, harus mengisi pelatihan, jadilah ia seorang diri bertutur tentang GSM yang berulang kali ia tekankan adalah sebuah lembaga sekaligus gerakan sosial, bukan profit.
Ia mengapresiasi komitmen Sinar Mas Land (SML) hingga sejauh ini, tapi sembari mengingatkan, “Baik, karena Sinar Mas Land menerima alur, platform dan spirit GSM, namun yang perlu dipikirkan ke depan adalah sisi pendampingan yang selama ini sangat bergantung pada peran unit CSR mereka. Kalau hanya 10, 20 atau 50 sekolah mungkin masih sanggup, tapi bagaimana jika berkembang hingga ribuan?” Jumlah sekolah dampingan yang terus bertambah bukan angan kosong semata. “Saya yakin akan ada eskalasi, tidak hanya di lingkup kerja SML, tapi juga ke sekolah lain di sekitarnya, terimbas virus kebaikan baru.”
“apa yang kami lakukan sangat mungkin pernah berlangsung di masa sebelumnya”
SML sebagai sektor privat yang dinilainya punya kapasitas dan sumber daya, “Jika memang serius menggunakan GSM sebagai platform baru menyiapkan SDM masa depan Indonesia, mesti memperhitungkan pula pengelolaan pelatihan, pendampingan, dan evaluasi sekolah.”
Meski tampak berbeda, Rizal justru merasa apa yang mereka jalankan lewat GSM tidak sama sekali baru. Mengubah lingkungan pendidikan dengan mengganti susunan berikut posisi meja kursi di kelas, pernah pula diinisiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1985 hingga 1993, Fuad Hasan. Sementara membangun karakter siswa melalui olah pikir, rasa, serta raga adalah konsep Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro.
“Saya yakin nilai kebaikan bersifat universal dan long lasting, sehingga apa yang kami lakukan sangat mungkin pernah berlangsung di masa sebelumnya. Mungkin yang membedakan hanya pada metodologi pendekatannya saja,” kata Rizal di sela perkelasan bagi para guru di sudut QBig BSD City, Tangerang Selatan. GSM menurutnya bergerak sebagai metodologi moderen, sehingga konsep yang lebih dulu hadir, dapat diterjemahkan via nilai-nilai milenial, pada ekosistem yang baru, dan kekinian.
Lagi pula, saat gerakan sosial bertemu dengan inisiatif dari sektor privat, kemudian menyasar masyarakat lewat cara yang menyenangkan, menunjukkan mereka cukup militan dan berdaya merevolusi mental.
Hindari Penyeragaman, Tempuh Kesepakatan Bersama
Lokakarya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) berlangsung di sudut QBig BSD City, saat itu Novi Poespita Candra tengah berbagi dengan para guru yang mewakili sejumlah sekolah di wilayah Tangerang Selatan. Akibatnya Muhammad Nur Rizal yang masih menanti giliran guna bertukar ide dengan para guru tadi, mesti seorang diri berkisah tentang GSM, tujuan berikut cara kerjanya. Padahal dalam banyak kesempatan pasangan suami-istri inisiator GSM ini selalu hadir berdua. Melalui perbicangan sekitar setengah jam, banyak hal yang ia tuturkan.
GSM bergerak dalam empat kerangka kerja demikian Rizal berkata. “Kami mendorong perubahan melalui lingkungan belajar yang positif, aman dan menyenangakan. Itu diterjemahkan dalam layout kelas, menjadikannya ibarat rumah kedua bagi siswa, sehingga rasa kepemilikan siswa terhadap kelasnya terbangun. Seperti dengan menampilkan profil diri para siswa di kelas, melalui foto mereka, kalau ada yang berulang tahun mereka rayakan bersama,” ungkapnya membuka cara kerja para guru dan siswa di sekolah yang mengadopsi GSM.
Susunan bangku dan meja juga tak lepas dari intervensi siswa dan para guru. “Setiap minggu diubah-ubah, apakah itu berbentuk melingkar maupun ‘u’ atau setengah melingkar, sehingga tidak ada siswa yang terus-menerus duduk di depan atau selalu berada di belakang. Dengan begini, akses terhadap guru dan sumber informasi menjadi berimbang dan setara, artinya ruang kemerdekaan terasakan oleh para siswa.” Mengubahnya secara berkala membawa penyegaran suasana, sekaligus membuat siswa berkesempatan mendapatkan pasokan oksigen yang lebih baik. Perubahan lingkungan mereka kerjakan sepanjang tiga bulan pertama. Tuntas dengan hal ini para praktisi GSM melaju ke pengembangan karakter.
“Interaksi di kelas yang saling peduli, akan berkorelasi dengan pembentukan karakter positif anak-anak”
Mereka mengajak siswa dan guru membangun kesadaran berpikir berikut pengendalian emosi. “Bukan pada pembiasaan, seperti yang banyak dilakukan selama ini,” ujarnya. GSM menganggap sikap mental serta emosi seseorang akan sangat bergantung pada kondisi kognitif atau konstruksi proses berpikirnya. “Ketika kognitifnya baik, anak cenderung lebih mampu mengendalikan emosi dengan baik. Saat mereka mampu mengendalikan emosi melalui kecerdasan dan kesadaran yang baik, maka sikap mental anak-anak itu akan berkembang lebih positif terhadap lingkungannya.”
Bentuknya, antara lain dengan meminta setiap siswa bercerita atau berbagi dengan teman dan gurunya akan kondisi dirinya saat itu. “Memaparkan apakah dia sedang gundah, sedang riang, atau sedang emosi, marah dan sebagainya. Guru memfasilitasi siswa guna mencurahkan perasaannya, mengekspresikan emosinya di hadapan teman-temannya. Begitu pula dengan para guru, ketika sedang dalam perasaan marah misalnya, sebaiknya jangan memulai pelajaran. Saat itu, semua diajak untuk saling membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi temannya tadi.”
Rizal percaya, dari sana akan terbangun empati, kebersamaan, dan kerja sama. Di mana siswa merasakan kehadiran guru tak hanya sebatas membagi pengetahuan, namun sekaligus seorang sahabat, teman curhat, orang tua, di dalam kelas yang laksana rumah. Sehingga proses belajar mengajar tercipta dengan saling mendukung. Interaksi di kelas yang saling peduli, menurut Rizal akan berkorelasi dengan pembentukan karakter positif anak-anak. Dengan kata lain, melalui karakter yang baik, sisi akademik siswa turut membaik.
“Siswa terlibat dalam setiap pengambilan keputusan di kelas”
Siswa terlibat dalam setiap pengambilan keputusan di kelas. Termasuk menyepakati target belajar mereka dengan para guru. “Ada kurikulum nasional, tapi cara menerjemahkan kurikulum nasional ‘kan bisa dengan membuat kurikulum kelas. Karena pada dasarnya, kurikulum itu bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan tadi.” Kesepakatan bersama akan membuka ruang bagi setiap potensi siswa yang berbeda sekaligus unik guna bertumbuh sesuai minat mereka masing-masing, tak ada penyeragaman dalam aktivitas belajar. Di mana pendidikan berlangsung dalam sebuah ekosistem yang mampu mendeteksi bakat dan minat setiap siswa.
Dalami yang Relevan
Tuntas dengan karakter dan menyepakati metode perkelasan, siswa bersama para guru terlibat dalam pembelajaran yang relevan, mempelajari ragam hal yang mereka dapat manfaatkan dalam kehidupan nyata, keseharian. Agar ada keterhubungan antara peran sekolah dengan lingkungan sosial. Tujuannya agar anak tak terasing di lingkungannya, sehingga mampu memberi kontribusi bagi sekitarnya, begitu Rizal berkata. Siswa dinilai hebat jika mampu mencapai target sesuai kapasitasnya. “Ada tanggung jawab yang dititipkan, tapi langkah untuk mencapainya berbeda tiap anak,” ujarnya. Penghargaan yang diberikan terhadap setiap kapasitas pribadi yang ada di kelas, mendorong setiap siswa untuk berprestasi.
“Di luar kelas dan sekolahnya, para siswa memiliki dorongan untuk belajar tanpa mesti diperintah”
Meski demikian, mekanisme kontrol bersama tetap hadir, dengan tujuan agar kepercayaan dan kebebasan yang berlaku di antara mereka tidak malah membuat perubahan yang salah arah. “Kami menyediakan platform guna saling bertukar praktik pendidikan terbaik, yang memungkinkan para guru saling belajar dan berbagi dengan basis teknologi informatika, termasuk WA,” Rizal menerangkan. Ide tersebar, semua saling mempelajari berikut mengapresiasi. Hasilnya, di luar kelas dan sekolahnya, para siswa memiliki dorongan untuk belajar tanpa mesti diperintah atau dipaksa, tapi karena memang memiliki tujuan, dan optimisme terhadap aktivitas itu. Timbul sukacita di sana.
Kalau di sekolah dasar, pembentukan karakter yang didahulukan, pada tingkatan sekolah menengah pertama fokus pada penggalian minat juga bakat, sementara pada jenjang sekolah menengah atas, siswa diajak memanfaatkan daya nalarnya untuk menjawab ragam hal yang dijumpai dalam keseharian melalui cara yang selaras dengan minat dan bakatnya. “Sehingga saat menuju jenjang pendidikan tinggi, siswa telah sadar hendak menuju ke mana. Memilih fakultas sesuai passion-nya.”
SMILE Magazine edisi ke-21
Penulis: Jaka Anindita
Kontributor: Caecario Vito, Yulrandro Dave, Victoria Ariwita
Editor naskah: Sidhi Pintaka
Foto: Noveradika
Tags: BSD City, Bumi Serpong Damai, Caecario Vito, Corporate Communications, Corporate Socia Responsibility, CSR, Gerakan Sekolah Menyenangkan, GSM, Guru, Jaka Anindita, Metode pendidikan, Muhammad Nur Rizal, Noveradika, Novi Poespita Candra, Pendidikan, President Office, Revolusi Mental, Saleh Husin, Sekolah marjinal, Sinar Mas, Sinar Mas Land, sinarmas, Sinarmas Land, SMILE Magazine, SMILE Magz, Syukur Lawigena, Tangerang Selatan, Victoria Ariwita, Yulrandro Dave