Tak lupa dari mana berasal adalah harapan pelaku usaha kecil terhadap perusahaan besar yang dulu berangkat seperti mereka, usaha mikro, kecil dan menengah. Dengan harapan mereka yang lebih besar berkenan membantu saudaranya yang lebih kecil. Pemerintah membaca pula hal itu, seperti diutarakan Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Riza A. Damanik, pada sisi produksi, UMKM di Indonesia meskipun memiliki banyak kemewahan karena populasi sumber daya manusia yang besar serta sumber daya alam cukup kaya, memiliki persoalan pada keterhubungan dengan industri besar. “Mereka tidak berada dalam rantai pasok yang sama. Jika kita lihat dari krisis yang terjadi, baik di tahun 1998 maupun 2008, yang semakin besar adalah usaha mikro, bukan usaha kecil dan menengah.
Dalam Webinar Series 82 Tahun Sinar Mas bertema Inovasi UMKM Tetap Berjaya di Tengah Pandemi, Kamis (12/11/2020), Riza menyebut adanya ketidakterhubungan antara pengembangan industri nasional dengan usaha menengah. Langkah pengembangan yang akan dilakukan pemerintah, menurutnya adalah menempatkan UMKM dan industri besar dalam gelanggang yang sama. Pernyataan menenangkan datang dari Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin yang mengilustrasikan jika pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja di Makassar tahun 1938 merintis bisnisnya pada masa krisis, sebagai imbas dari kolonialisme dan Perang Dunia ke-2.
“Sejarah selalu berulang, saat krisis menghantam bangunan kehidupan kita, UMKM-lah yang mampu bergerak lebih gesit, memanfaatkan kesempatan yang ada, berinovasi memutar roda perekonomian dalam skala terbatas, namun bergerak meluas,” ungkapnya. Karena itu, Sinar Mas di usia lebih dari delapan dasawarsa, melalui beragam inisiatif pilar bisnisnya tak lupa menggandeng UMKM meningkatkan skala ekonominya, bahkan memasukkannya ke dalam rantai pasok mereka.
Program Desa Makmur Peduli Api atau DMPA adalah satu contoh bagaimana Asia Pulp & Paper Sinar Mas coba menaikkelaskan UMKM yang ada di sekitarnya. Supari pendiri Kelompok Tani Mekar Jaya, Tanjung Jabung Barat, Jambi yang sebelumnya adalah seorang pekebun, memulai babak baru usahanya setelah menerima bantuan delapan ekor sapi dari perusahaan untuk diternakkan dalam pola integrasi sapi-sawit, hingga jumlahnya berkembang mencapai enampuluh ekor. Torehan tersebut dilirik PT Wirakarya Sakti dengan menarik kelompoknya ke dalam program DMPA. Pendampingan intensif, berikut dukungan pendanaan melalui badan usaha milik desa, bumdes, membawa dirinya mampu memanfaatkan peluang pengembangan usaha pupuk organik memanfaatkan kotoran ternak serta limbah perkebunan sawit.
“Melihat kotoran ternak yang melimpah, juga limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit, kami terinspirasi memanfaatkannya menjadi pupuk organik guna peremajaan sawit,” ceritanya. Bertahap, mulai dari capaian 10 ton, naik ke 200 ton, bahkan kini mencapai 1.000 ton perbulan, Kelompok Tani Mekar Jaya mampu menjaring pendapatan hingga Rp1 miliar per bulan, buah karya 60 orang pekerja, yang kebanyakan kaum perempuan dari desa mereka. Kemampuan kelompok ini mengeskalasi produksi membawa Supari – juga dengan bantuan perusahaan – berkesempatan belajar pengolahan pupuk organik hingga ke Thailand.
“Kami mendirikan lembaga keuangan mikro agribisnis, LKMA Mitra Usaha Mandiri atau bank-nya para petani. Dengan memberikan pinjaman kepada para pekerja dan masyarakat, berawal dari Rp2 juta, Rp5 juta hingga saat ini mencapai Rp20 juta, kami memberikan dukungan dan edukasi kepada para petani bagaimana caranya menjadi pengusaha. Sebagai petani kami merasa bangga tumbuh dan berkembang bersama perusahaan,” kata Supari.
Dalam webinar, Rita Ayuwandari, Ketua Kelompok Wanita Tani Mekar Wangi Desa Dataran Kempas, Jambi, menganggap DMPA sebagai pintu bagi mereka mengubah pola pikir dan cara bekerja menjadi lebih maju. “Program DMPA hadir di desa kami pada akhir tahun 2017 melalui kegiatan budidaya jahe merah, peternakan, pembuatan kompos, dan hortikultura. Para ibu rumah tangga yang coba membudidayakan jahe merah, mendapatkan pendampingan untuk membentuk kelompok tani.” Perlahan, dari hasil panen hanya 10 kg, untuk selanjutnya mampu mencapai 250 kg setiap bulan, Kelompok Wanita Tani Mekar Wangi Desa Dataran Kempas yang ia pimpin mampu berinovasi menghasilkan produk turunan guna meningkatkan nilai jual jahe merah yang selama pandemi memang semakin banyak dicari.
Menurut Rita, terbentuknya bumdes di desanya membuka jalan bagi datangnya ragam bantuan maupun pendampingan dari pemerintah daerah setempat. “Kami jadi mampu membuat kemasan yang menarik bagi produk Wedang Jahe Merah Mekarwangi, diajarkan strategi pemasaran secara online ke ritel modern, sehingga tetap bisa memperoleh hasil penjualan yang baik. Kondisi pandemi tidak mematahkan semangat kami untuk tetap terus berkarya dan berjuang,” tuturnya.
Korporatisasi UMKM
Dua contoh tadi selaras dengan upaya Kemenkop UKM memperluas peran koperasi guna menyerap produk UMKM, dan pada saat bersamaan menghubungkannya dengan perusahaan, baik BUMN maupun swasta. Menkop UKM, Teten Masduki dalam kesempatan yang sama – meminjam sebutan dari Presiden Joko Widodo – mengatakannya sebagai korporatisasi UMKM. “Kami coba memulai di sektor pangan, di mana pemerintah mendorong para petani, peternak maupun nelayan untuk membentuk kelompok, mengelola lahan dengan skala ekonomi yang memadai, dengan pengonsolidasian menggunakan kelembagaan koperasi. Harapannya para petani akan mampu mengolah hasil pertaniannya sehingga memiliki nilai tambah, dapat terhubung ke pasar melalui koperasi, sementara off taker-nya dapat berasal dari swasta maupun pemerintah.”
Sedangkan Kaesang Pangarep pendiri akselarator UMKM, GK Hebat menduga rendahnya angka kewirausahaan di Indonesia karena sulitnya akses pendanaan. Berdasarkan pengalamannya, ia menyarankan para calon pengusaha muda untuk mau mengeksplorasi setiap bidang maupun celah bisnis yang ada, hingga di masa 10 hingga 15 tahun kemudian benar-benar dapat mengetahui, kemudian menetapkan fokus pada bidang usaha yang diminati.
UU Cipta Kerja, menurut Teten dapat menjadi jawabnya, di mana pemerintah mendorong UMKM yang sebelumnya informal, untuk bertransformasi menjadi formal dengan berbagai kemudahan usaha, perizinan sekaligus pendanaan. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan UMKM bertransformasi, ke ranah digital. “Akan besar manfaatnya guna mengakses pasar yang lebih luas, juga mengakses pembiayaan. Karena sekarang semakin banyak lembaga pembiayaan yang menggunakan rekam jejak kesehatan keuangan digital sebagai landasan verifikasi,” ungkapnya mencontohkan.
Anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Franky Sibarani menyampaikan, Indeks Kebijakan UMKM Indonesia yang masih tertinggal dari sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara menunjukkan pentingnya penanganan terpadu dari pemerintah, berikut pendampingan intensif. Dengan jumlah petani mencapai 33 juta orang, berikut UMKM sebanyak 64 juta, dirinya menyarankan ketersediaan insentif bagi para pihak seperti dunia usaha atau perguruan tinggi yang berkomitmen melakukan pendampingan, atau mengakselarasi. Ia mengambil contoh kemitraan dalam rantai bisnis antara perusahaan dengan para petani kelapa sawit, yang skalanya besar, berlangsung lama dan berhasil baik, hingga direplikasi oleh sektor pangan lainnya.
Penulis: Jaka Anindita
Kontributor: Yulrandro Dave
Desain grafis: Sidhi Pintaka
Video: Andri Riza
Tags: APP Sinar Mas, Asia Pulp and Paper Sinar Mas, Corporate Communications, Corporate Social Responsibility, CSR, Desa Makmur Peduli Api, DMPA, Eka Tjipta Widjaja, Franky Sibarani, HUT, Jaka Anindita, Jambi, Kaesang Pangarep, President Office, President Office Sinar Mas, PT Wirakarya Sakti, Rantai pasok, Rita Ayuwandari, Riza Damanik, Saleh Husin, Sidhi Pintaka, Sinar Mas, Sinar Mas Agrbusiness and Food, sinarmas, SMART, SMILE Magazine, SMILE Magz, Supari, Sustainability program, Teten Masduki, Ulang Tahun Sinar Mas, Webinar, Wira Karya Sakti, WKS, Yulrandro Dave, Zoominar