Talenta muda yang membangun karir jauh dari tempat tinggalnya sudah menjadi bagian keseharian Sinar Mas. Sejumlah pilar bisnisnya yang bergerak dalam industri pengelolaan sumber daya alam serta lahan, bahkan selalu menempatkan banyak sumber daya di pelosok negeri, jauh dari kesemarakan kota besar. Muda, berpendidikan tinggi dengan harapan besar, namun membawa serta keharusan menjelmakan Sinar Mas 6 Value di tempat yang baru mereka kenal, menghadirkan ragam cerita. Kamis 15 Desember tahun 2022 silam, gelaran rutin Sinar Mas Graduation berlangsung, ‘melepas’ 537 wisudawan. Mereka adalah para pembelajar anyar yang sebagian di antaranya harus melakukannya jauh dari tempat tinggal.
Relationship Manager Corporate Banking di Bank Sinar Mas, Nattira Beatrice adalah contoh bagaimana pilihannya dalam mengawali karir, membawanya tiba di Jakarta. “Dulu saya berkuliah di Universitas Pendidikan Nasional Denpasar mengambil jurusan ilmu hukum.” Berasal dari Jambi, berkuliah di Bali, kini ia bekerja di Jakarta. “Biasanya di Jambi ngapa-ngapain tuh selalu bareng, apalagi ada keluarga besar, lalu waktu pindah ke Bali, bersama teman-teman. Saat aku pindah ke Jakarta, culture-nya beda lagi karena kita lebih sering sendiri-sendiri, terus makanannya juga berbeda.” Bahkan Nattira merasakan pula cara berkomunikasi yang lain dari sebelumnya. “Di Jakarta itu orangnya lebih to the point gitu ya, gak ada basa-basi. Itu yang membuat agak kaget. Jika iya iya, engga engga.” Meski tak lupa dirinya – yang kini berkantor di Sinar Mas Land Plaza, Jakarta Pusat – menyebutkan bila atasan juga rekan-rekannya, terutama sesama ‘anak baru’ sejauh ini mengayomi dan saling mendukung.
“… coba dulu, jangan baru sedikit langsung menyerah.
Mana tahu setelah beberapa lama Anda jadi jatuh cinta.”
Mengetahui jika Sinar Mas bukan sekadar entitas yang besar dan sudah lama berdiri, mendorong dirinya menetapkan niat bergabung. “Pas masa-masa krisis, Sinar Mas tetap bisa survive hingga sekarang. Saya pikir, perusahaan ini oke untuk karir saya ke depan, karena selalu bertumbuh, sehingga otomatis karyawannya juga akan terus berkembang,” ujarnya tentang niatan yang mengantarkannya masuk dunia perbankan pada Februari 2022 silam, kemudian lulus pelatihan di bulan Desember tahun yang sama. Dalam pelatihan itu pula, dirinya mengetahui kisah perjalanan Eka Tjipta Widjaja mengawali berikut membesarkan Sinar Mas, termasuk mengenal salah satu lontaran sang founding father, “Apa pun bisa, kalo semuanya mau berjuang,” yang menurutnya terjadi. “Aku buktikan sendiri kalimat Pak Eka, ternyata memang bisa,” ujarnya.
Rupanya pertimbangan serupa melatari bergabungnya Mas Ahmad Zuaib ke PT SMART Tbk. pada Februari tahun lalu. “Siapa sih yang nggak kenal sama Sinar Mas, pasti ingin bekerja di salah satu perusahaan Sinar Mas ini, apalagi pabrik kelapa sawitnya juga salah satu yang terbesar di Indonesia. Jadi, pada saat saya lihat ada lowongan BMDP (Basic Management Development Program) Electrical, saya tertarik saat itu,” ungkap lulusan program studi teknik elektro Universitas Singaperbangsa Karawang ini. Terlebih kedua orang tuanya mendukung Zuaib meraih sensasi serta pengalaman baru di luar Bekasi. “Sebelum memutuskan untuk bergabung, saya juga sharing dengan orang tua. Kata mereka, Gak apa, coba aja, apalagi ini kan di luar pulau, nanti pasti ada pengalaman baru lah buat saya. Mencoba pengalaman kerja, terutama di luar Pulau Jawa,” kisahnya.
“… ketika mendapat tantangan, pilihannya, pertama kita menyesal
karena menghindarinya atau yang kedua, kita menguat karenanya.”
Sebagai assistant mill di Kenanga Mill, yang berada di Desa Randai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, perbedaan bahasa juga budaya menjadi hal yang mesti segera dijembatani. “Tantangan pertama saat penempatan di Kalimantan Barat ini, saya kan dari Bekasi. Rata-rata orangnya ngomong Sunda, pake ‘aing’ atau ‘sia’ (saya dan kamu dalam bahasa Sunda pergaulan), gitu. Di sini, seperti berada di dunia lain. Soalnya kita banyak menggunakan bahasa Melayu. Seperti Upin Ipin (karakter animasi anak, produksi Malaysia) gitu. Itu tantangannya.” Sementara anggota tim di bawah pengawasannya yang umumnya adalah masyarakat setempat dengan pembawaan yang kadang terlalu santai, jelas membutuhkan pendekatan khusus. “Kita kenali dulu sifat mereka, ibaratnya cemplungin diri untuk dekat dengan mereka, baru perlahan kita arahkan bagaimana caranya bekerja dengan maksimal. Sekarang sudah mulai paham bahasa di sini. Nanti saat pulang ke rumah, pasti keluarga kaget dengan cara bicara saya yang berbeda,” begitu kiat Zuaib membangun budaya kerja bersama rekannya.
Seputar bekerja, sekaligus mengawali karir di tempat yang baru, dan juga jauh dari keluarga maupun lingkup pergaulan sebelumnya, pengalaman para wisudawan ini tampaknya selaras dengan kisah dan saran Managing Director-Sumatera Upstream Operation, Sinar Mas Agribusiness & Food, The Biao Ling. “Kalau sudah merasa cocok dengan pekerjaannya, kita harus belajar dan bersikap tangguh, karena kalau di kebun sawit, itu yang menjadi tantangannya. Misalkan kita berhadapan dengan orang yang mungkin dari latar pendidikan mereka juga tidak sama dengan kita. Kita juga harus mengerti bahasa mereka, tidak bisa langsung menggunakan bahasa kota. Kadang-kadang kami juga mengingatkan. Eh, bicara sama orang di kebun jangan gitu ya, yang sederhana, biar mereka mengerti. Jangan pula cepat bosan, coba dulu, jangan baru sedikit langsung menyerah. Mana tahu setelah beberapa lama Anda jadi jatuh cinta,” ungkap Biao Ling yang telah menjalani 35 tahun karirnya di perkebunan sawit Sinar Mas.
“… perusahaan ini oke untuk karir saya ke depan, karena selalu bertumbuh,
sehingga otomatis karyawannya juga akan terus berkembang.”
Wisudawan lainnya adalah Adfiana Pramudaswari yang kini bekerja sebagai Continuous Improvement Analyst di Divisi Business Improvement di PT Borneo Indobara. Dirinya mengakui cukup terbiasa menjadi kaum minoritas sedari masa berkuliah dulu, dan memanfaatkan sisi ini saat membangun karir. “Ketika di bangku kuliah saya adalah minoritas, dengan menjadi satu-satunya perempuan. Pasti kalau mencari pekerjaan akan jadi minoritas juga. Kenapa saya pilih Sinar Mas Mining, karena dari awal saya ingin bekerja di sektor oil and gas atau mining. Karena perempuan sangat jarang yang bekerja di sektor ini, maka saingan saya akan semakin sedikit. Jadi saya cari opportunity itu,” kata sosok berlatar pendidikan strata 2 teknik elektro, Institut Teknologi 10 November Surabaya ini. “Saya berkeyakinan, ketika mendapat tantangan, pilihannya, pertama kita menyesal karena menghindarinya atau yang kedua, kita menguat karenanya. Jadi, kalau ada tantangan,ya saya ambil karena langkah pertama berproses adalah mencoba ya, jadi why not gitu,” mengomentari pilihan yang membawanya bertugas di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Sekalipun mengaku serta merasa cukup siap mengarungi pilihannya, tetap datang rasa gegar budaya ketika menjalaninya. Mirip dengan Zuaib di perkebunan, Adfiana merasakan perbedaan bahasa. “Yang paling berpengaruh adalah komunikasi dan budaya setempat. Kalau di sini kan banyak menggunakan bahasa Banjar, jadi ya beda gitu. Aksen atau imbuhan kata lah atau kah, jika biasanya di Jakarta nambahin kata lah misal sini-lah itu kan terkesan cuek banget, jutek banget. Ternyata di sini itu adalah bahasa yang sangat sopan. Kedua, banyak perspektif kayak, duh Kalimantan nih, takut orang-orangnya serem. Padahal ternyata biasa aja, mereka ramah kok.”
“Nanti saat pulang ke rumah, pasti keluarga kaget dengan cara bicara saya yang berbeda.”
Sebagai talenta anyar, ingatan ketiganya akan filosofi hidup Eka Tjipta Widjaja yang diabadikan menjadi Nilai-nilai Luhur Sinar Mas, masih cukup segar. “Karena bekerja di perbankan, aku bener-bener dituntut untuk berintegritas. Harus jujur, menjaga kepercayaan nasabah, berdisiplin, lalu gak boleh cepat puas setelah mencapai satu titik, karena dalam nilai-nilai luhur itu ada perbaikan berkelanjutan. Karena bertugas di bagian debit, aku juga harus bersikap loyal terhadap para debitur,” kata Nattira. Sementara Zuaib menerjemahkannya sedikit berbeda. “Berpikir positif jika kita bekerja di sini itu bukan hanya untuk kepentingan perusahaan, tetapi juga kepentingan kita sendiri dan juga keluarga kita. Sementara perbaikan berkelanjutan adalah bagaimana caranya untuk dapat menunjukkan kelapa sawit adalah komoditas yang renewable.”
Bahkan Adfiana terbiasa menyanyikan bersama Himne Sinar Mas sesaat jelang rapat atau beraktivitas, sehingga menjadikan nilai di dalamnya, lekat dalam ingatan. “Kejujuran itu nomor satu. Bicara atas dasar fakta. Karena di sini bicara harus memakai data. Selain itu, kita mendapatkan keterbukaan seluas-luasnya. Kita mau bikin improvement atau ide baru, sangat welcome. Kalau misalnya bisa diimplementasikan, kenapa enggak. Orang-orangnya positif sekali dan welcome sama orang baru. Kami dibimbing dan diajari dari awal,” ungkapnya. Kisah perjalangan Eka Tjipta membangun Sinar Mas pun dijadikannya sumber inspirasi. “Latar belakang beliau dari nothing to something patut ditiru. Orang-orang besar gak melulu lahir dari keturunan orang yang berada. Saya atau yang lain dari keluarga yang sederhana tidak menutup kemungkinan untuk sukses dengan cara seperti yang dilakukan oleh Pak Eka,” demikan Adfina.
Para pendahulu yang berhasil melalui masa gundah atau pun gegar budaya punya formula mujarab menjalani hari mereka. Founder Sinar Mas, Pak Eka pun demikian. Ini yang dapat ditiru para wisudawan. “Belajar, jangan khawatir. Kita belajar, kalau salah nggak apa, dan jangan segan-segan bertanya kepada atasan dan kepada teman sejawat. Dengan belajar kita tahu bagaimana caranya menghadapi masalah. Kalau di kebun itu kan harus menghadapi banyak orang, enggak usah khawatir, karena nanti, lama-lama bisa tahu cara menghadapi bapak-bapak itu bagaimana. Learning by doing. Jangan menyerah, masak belum perang sudah kalah ya. Jadi, tetap selalu belajar, nggak usah khawatir. Malu bertanya sesat di jalan,” demikian The Biao Ling memberikan formulanya, sejalan dengan tema wisuda tempo hari, Developing Resilience at Work.
Penulis: Delia Nurusyifa Qurrotu Ainii Putri Zain, Nasya Adinda, Jaka Anindita
Foto: Koleksi pribadi