Breaking

Kuda, Selalu Jadi Pilihan

Breaking News / Sekitar Kita / Slider / Top News / July 24, 2023

Mereka yang bertamu ke Menara 2, Sinar Mas Land Plaza Jakarta, terlebih yang bekerja di sana layaknya disambut oleh sebuah patung berwarna perunggu di sudut lobi sebelah kiri, sebelum memasuki koridor lift.  Meski begitu, tampaknya tak banyak yang tahu bagaimana patung kuda dengan pose berjingkat mengangkat kedua kaki depannya itu berada di situ, berikut apa maknanya. “Tahun 1998, patung dipindahkan ke lobi atas permintaan Pak Frankle (Sinar Mas Board Member, Frankle Widjaja), jika tak keliru,” kata seorang karyawan lama yang sayangnya menolak namanya dituliskan. Beranjak ke lantai paling dasar Menara 2, di seberang pintu masuk, tergantung lukisan cat minyak sekawanan kuda yang tengah beradu lari.

Sosok kuda banyak menjadi ornamen pilihan guna menghiasi keseharian di ruang kerja, rumah, kantor, jalan raya karena tampilannya yang indah, mewakili kekuatan sekaligus ketahanan. Sekian banyak kisah legenda maupun pahlawan, divisualisasikan dengan kudanya. Tak jauh dari Sinar Mas Land Plaza, di bilangan Jalan Medan Merdeka, ada sosok Raden Arjuna di atas kereta perangnya yang disaisi oleh Prabu Kresna dalam Patung Arjuna Wijaya, karya pematung I Nyoman Nuarta. Tak jauh dari situ, persisnya di halaman depan kantor Kementerian Pertahanan, buah karya perupa Dunadi tampak pada patung Presiden Soekarno di atas kudanya, terinspirasi apa yang Sang Proklamator lakukan ketika menginspeksi pasukan dalam peringatan Hari Angkatan Perang, 5 Oktober 1946.

 

Tampil tematik, gerbang masuk Kluster Belanda di Telaga Golf Sawangan, Depok memperlihatkan patung kereta kuda para petani Belanda di abad ke-13.

Sedikit bergeser ke Taman Merdeka, dekat Monumen Nasional terpahat Patung Diponegoro yang disumbangkan pemerintah Italia tahun 1965, buah karya seniman Vittorio di Colbertaldo. Pangeran Diponegoro tak hanya satu. Karena sekitar 5 kilometer dari sana ada Patung Diponegoro di Jalan Diponegoro yang diresmikan tahun 2005, juga menggambarkan sang pahlawan nasional di atas kudanya, namun dengan pose aksi, memegang tombak. Itu baru sebagian saja.

Sejumlah kawasan perumahan juga gemar membangun jajaran patung kuda sebagai penanda kehadiran mereka di kawasan itu, selain sebagai penghias maupun simbolisasi. Seperti yang dibangun Sinar Mas Land di Kota Wisata, Cibubur, Kabupaten Bogor. Terdapat patung kuda bersayap dengan penunggangnya, bergaya mitologi Yunani. Tampaknya ini sejalan dengan konsep pengembangannya yang mengusung slogan harmoni antara tempat tinggal, rekreasi serta pendidikan. Bahkan di seputar cluster Nashville, secara tematik, pernah hadir patung kuda yang ditunggangi para koboi, tengah berkejaran.

 


Tak serta merta membawa keberuntungan. Menurut konsultan feng shui Angelina Fang, harmoni dalam hidup seseorang lebih dipengaruhi energi di dalam sebuah ruangan yang kerap ditempatinya, bukan dari penggunaan benda yang bersifat simbolis.

 

Sementara di Telaga Golf Sawangan, Depok, berdiri sebuah kereta kuda, dengan satu di antara empat sosok yang ada di atasanya, membawa trisula layaknya Neptunus. Jika awalnya berwarnakan pualam, kini patung itu bernuansa keemasan dengan keempat kudanya berwarna coklat gelap. Di gerbang masuk Kluster Belanda, giliran patung kereta kuda bermuatan drum yang dihela para petani Belanda pada abad ke-13 lengkap mengenakan sepatu kayu klompen, tegak di sana. Bergeser ke Surabaya, Sinar Mas Land membangun Colloseum Club House di kawasan Wisata Bukit Mas. Sesuai namanya, fasilitas olah raga serta gedung pertemuan itu bernuansakan Colloseum Roma, Italia, dan terdapat patung Pegasus sang kuda bersayap di salah satu sudutnya. Sedangkan kawasan wisata Little Venice Kota Bunga di Cianjur, Jawa Barat yang menawarkan wisata air, sebagian kawasan intinya dihiasi pula patung kuda bergaya renaisans abad ke 15.

 

Reproduksi foto dari blog Cerita Keluarga Fauzi menunjukkan di suatu masa, saat melintasi kluster Nashville, Kota Wisata Cibubur, kita serasa bersua dan berkejaran dengan para koboi yang menunggang kuda.

 

Konsultan feng shui yang juga pendiri Feng Shui Consulting Indonesia, Angelina Fang berpandangan harmoni dalam kehidupan seseorang lebih banyak berasal dari chi (qi) atau energi yang ada di dalam sebuah ruangan yang banyak mereka tempati, dan bukan berasal dari penggunaan benda yang bersifat simbolis. “Bukan karena satu benda hoki kita bisa berubah atau karena sebuah benda, feng shui rumah itu bisa berubah dengan drastis,” ujarnya. Sebagaimana feng yang berarti angin dan shui yang bermakna air, Angelina mencontohkan sebuah ruangan yang ideal adalah di mana udara bersirkulasi dengan baik sehingga kebutuhan oksigen mereka di dalamnya tercukupi, membantu mereka lebih sehat, segar, kemudian mampu berpikir jernih sehingga dapat mengambil keputusan yang baik, dan berujung pada produktivitas yang bagus.

Dengan kata lain, keberuntungan, hoki atau apapun sebutannya tidak dipengaruhi oleh penempatan benda seperti patung, atau lebih spesifik lagi patung kuda. Anggapan beberapa kalangan akan penempatan benda atau patung tertentu untuk membantu peruntungan, menurut dirinya, tumbuh ketika terjadinya Revolusi Kebudayaan di Tiongkok periode 1966 hingga sekitar 1976, yang satu di antaranya diwarnai pelarangan penerapan feng shui, yang berimbas pada bermigrasinya para praktisi feng shui ke manca negara, terutama Hong Kong. Di tempat yang baru, dengan wilayah yang terbatas, dan ukuran properti yang jauh lebih kecil, sekaligus semakin menantang bila mendirikan bangunan yang sejiwa dengan feng shui, memunculkan aliran atau genre yang menggunakan penempatan benda-benda di tempat tertentu guna merekayasa aliran energi yang ada.

 


Sesuai namanya, Colloseum Club House di Wisata Bukit Mas, Surabaya, mewujudkan sosok kuda bersayap berlatarkan bangunan Colloseum Roma, Italia.

 

Namun, sebagai praktik pengelolaan tata letak bangunan maupun ruangan lewat padu padan dengan lokasi serta lingkungan sekitar, mata angin, hingga pergerakan tata surya, agar harmoni dapat merasuk dalam kehidupan sosok yang menempatinya, feng shui melihat energi yang dibangkitkan oleh suatu bangunan, selalu lebih besar pengaruhnya daripada energi dari sebuah benda seperti patung. Karenanya Angelina meyakini kerap hadirnya patung kuda di dalam ruangan, adalah atas pertimbangan estetika atau keindahan serta simbolisasi penyemangat bagi orang-orang yang ada di dalamnya.

“Ada satu idiom mǎ dào chéng gōng, di manaadalah kuda dào chéng gōng, sampai berhasil. Artinya, kuda identik dengan bekerja keras, berlari cepat, rajin, bersemangat, hingga mencapai keberhasilan. Jadi, orang menggunakan kuda karena identik dengan sifat bekerja keras dan semangat.” Tampaknya hal serupa dirasakan pula oleh pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja. Pertimbangan melindungi koleksi pribadi dari potensi reproduksi mengakibatkan memotret dan merekam video tak diperkenankan, tapi di ruang kerjanya yang terawat rapi sebagaimana saat sosoknya masih berkantor di sana, tercatat ada sebanyak 24 patung kuda, beragam ukuran, terbuat dari berbagai bahan, seperti keramik, porselen, besi hingga batu giok. Sementara delapan patung lainnya dapat dijumpai pada ruang tamu, masih di lantai yang sama.

 

Kuda bersayap layaknya Pegasus, hadir di Kota Wisata, Cibubur, Kabupaten Bogor.

 

Arkeolog yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Candrian Attahiyat berpendapat, saat ini simbolisasi lewat sosok kuda telah bergeser ke tujuan ornamental, tidak melulu filosofis. “Jika sebelumnya seseorang menggunakkan visualisasi Semar (misalnya) dalam bentuk patung maupun lukisan di rumahnya karena pertimbangan karakteristik dari tokoh Semar tersebut yang terasakan sesuai dengan si pemilik rumah, sekaligus ia tunjukkan kepada orang lain yang hadir di sana, saat ini sangat mungkin lebih karena dorongan estetis semata. Dirinya mungkin tidak memahami karakteristik dari tokoh Semar itu, dan kita yang hadir ke sana juga tak berpikir bila sang pemilik rumah mengidentikkan karakter dirinya dengan Semar tadi,” urainya mencontohkan.

Padahal bila menelisik peninggalan bersejarah, penggambaran kuda menurutnya sarat nilai filosofis, bahkan religius. Seperti ditemukan dalam pahatan relief pada Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang tergambarkan bersayap bersanding dengan gajah yang juga memiliki sayap, dan dalam keyakinan umat Buddha menggambarkan alam surgawi, bermaknakan kebahagiaan serta kesejahteraan. Sedangkan dalam peninggalan Paksi Naga Liman milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Di sana, terlihat wujud makhluk hibrida dengan kepala naga, memiliki tubuh dan belalai layaknya gajah, bersayap, sekaligus berpelana dengan ekor bersurai layaknya kuda. Perawakannya memadukan dimensi daratan, lautan dan udara yang diterjemahkan sebagai akumulasi kekuatan sekaligus kewibawaan lintas matra yang melindungi keraton terhadap ancaman dari luar. Para peneliti melihatnya punya kemiripan pada penggambaran Buraq atau kuda sembrani dalam mitologi umat muslim Persia.

 

Menurut arkeolog Candrian Attahiyat, kehadiran patung kuda telah bergeser ke tujuan ornamental, tak lagi filosofis.

 

Candrian yang populer di kalangan warganet peminat sejarah dan arkeologi lewat kanal Youtube-nya mengenai sejarah Kota Jakarta yang dirintisnya sedari 2016 silam itu menilai pertimbangan keindahan serta citra berwibawa dalam ornamen kuda melatari banyak pengembang realestat membangun patung jenis ini. “Mulai marak pada dekade 1980-an dengan mengambil tema Amerika serta mitologi asal Eropa, untuk membangun citra sekaligus memperkuat pemasaran. Para pengembang besar, karena keunggulan sumber daya, mampu mewujudkan patung-patung kuda yang bergaya realis dengan tampilan lebih proporsional,” ujarnya. Dirinya membandingkannya dengan beberapa patung kuda di sekitaran Jakarta Raya yang justru tampil kurang sesuai (atau kurang indah). “Ada yang kakinya terlalu pendek, badannya terlalu gemuk,” ungkapnya.

Jika kuda kerap digunakan manusia sebagai simbolisasi, apa yang disampaikan pembudidaya kuda balap kenamaan asal Italia, Federico Tesio dapat menggambarkan seperti apa keanggunan sekaligus ketangguhan hewan ini, “Seekor kuda berpacu menggunakan paru-parunya, bertahan dengan hatinya, dan menang lewat karakternya.”

 

Penulis: Jaka Anindita, Tika, Victoria Ariwita

Riset Foto: Sidhi Pintaka, Qurrotu Ainii PZ, Nasya Adinda

Foto: Noveradika Priananta, koleksi Sally Fauzi (blog Cerita Keluarga Fauzi)






Jaka Anindita




Previous Post

18 tahun Bazar Minyak Goreng: Kerja Banyak Pihak (2)

Next Post

Halalbihalal, Kebinekaan dan Makan-Makan





0 Comment


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


More Story

18 tahun Bazar Minyak Goreng: Kerja Banyak Pihak (2)

Kalau awak Stakeholder Engagement di President Office punya banyak kisah seputar bazar minyak goreng, yang tahun ini bertajuk...

July 18, 2023